41 Diary A

16.4K 512 8
                                    

Karena kesalahan pahaman Aisyah, membuat wanita itu tertelan rasa malu. Untunglah Arezzo tidak memperpanjang urusannya.

Arezzo menarik tangan Aisyah agar mengikuti langkah kakinya. "Kamu tahu, hukuman itu harus adil bukan?" tanyanya.

Aisyah mengerucutkan bibirnya di balik cadar. "Apa Mas akan menghukum Ais?"

Arezzo mengangguk. "Mengapa tidak?"

Aisyah menggeleng cepat. "Jangan Mas, ish kan Ais hanya salah paham."

Arezzo menghentikan langkah kakinya, yang secara otomatis Aisyah juga mengikutinya. Arezzo melirik pada istrinya.

"Gimana kalau karena kesalahan Ais itu, bisa membuat mobil itu rusak?" tanya Arezzo dengan nada yang sedikit bersahabat.

"Bearti, Ais harus ganti rugi," jawab Aisyah polos.

Arezzo mengangguk. "Bener. Untunglah itu mobil saya, bagaimana kalo mobil orang lain?"

Aisyah mendongak menatap suaminya. "Apa bedanya, toh sama-sama akan dihukum."

"Beda dong, kalo saya hanya menghukum kamu secara sebagai hukum seorang suami."

Arezzo kembali melanjutkan langkahnya, hingga mereka masuk ke dalam sebuah lift. Dengan tidak tahu dirinya, Arezzo menekankan angka lantai apartemen Aisyah.

Aisyah diam saja saat tangannya ditarik, bukan tidak ingin menolak, tapi dia tahu walaupun dia memberontak Arezzo juga tidak akan melepaskannya.

Di dalam benaknya bekerja keras saat ini, memikirkan bagaimana cara dia mengganti rugi mobil Arezzo. Aisyah tahu, mobil Arezzo tidak ada yang murah. Bahkan, setiap bulannya suaminya itu menghabiskan uang ratusan juta hanya untuk menservis mobil-mobilnya.

Ting...

Arezzo dan Aisyah telah berada di lantai tujuan. Suaminya itu kembali menarik Aisyah menuju depan pintu apartemen milik istrinya.

"Kenapa ke sini Mas?" tanya Aisyah.

Arezzo hening, tak menjawab. Laki-laki itu mengulurkan tangannya pada kunci sidik jari di samping pintu. Ia menempelkan jari telunjuknya di sana, hingga pintu itu terbuka.

Tidak bisa dipungkiri, hal itu sungguh sangat mengejutkan bagi Aisyah. Ia bahkan sampai mengangakan mulutnya di balik cadar.

"Bagaimana bisa?" tanya Aisyah. Ia menatap Arezzo dengan tatapan penuh tuntutan.

Ah selalu saja, Aisyah merasa tidak punya privasinya sendiri. Kemanapun ia berada pasti tidak jauh dari pengawasan Arezzo. Ketika harta telah berkata, apa yang tidak bisa? Kata orang-orang seperti itu.

Arezzo dan Aisyah melangkah bersamaan masuk ke dalam apartemen milik Aisyah.

Seakan berada di rumah sendiri, Arezzo langsung merebahkan diri pada sofa yang berada di ruang santai apartemen mewah itu.

"Hukuman kamu adalah, menampung saya tinggal di apartemen ini."

"Jika kamu tidak ingin pulang, maka saya yang akan tinggal di sini. Fair kan?"

Aisyah duduk di sofa bersebrangan dengan suaminya. "Walaupun aku menolak, Mas akan tetap di sini juga kan?"

Arezzo tersenyum tipis. "Benar sekali. Pinter."

Tanpa sadar, Aisyah menghembuskan napas berat. "Terserah pada Mas. Hitung-hitung, ini adalah kebersamaan kita sebelum nantinya kita berpisah."

Arezzo yang tadinya bersandar pada sandaran sofa, kini menjadi duduk tegap.

"Tidak ada seperti itu. Kita tidak akan berpisah," ucap Arezzo dingin.

Aisyah tersenyum kecil. "Mas, sayangnya kesabaran Ais telah terkikis hampir tidak tersisa."

Madu (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang