14.

17.7K 641 9
                                    

Rindang ranting kayu penuh dedaunan, angin menyapu menerbangkan satu per satu-satu daun yang tak sanggup bertahan. Terik matahari mampu menembus semua kedinginan, setelah beberapa saat lalu dihampiri embun kesejukan.

Taman rumah sakit menjadi pilihan Asifa untuk menenangkan segala gundah hati, yang baru saja dia terima dari dokter Ulfa. Asifa berlindung di bawah pohon kayu lebat daun.

"Ya Allah, apa salah Asifa? Asifa hanya ingin bahagia. Hiks." Wanita itu menengadahkan kepalanya ke atas pohon, hingga sinar matahari dari seluh daun menerpa wajahnya.

Bisa Asifa lihat, keadaan taman saat cukup bersahabat dengan dirinya yang tidak bisa henti mengeluarkan air mata. Taman sedang sepi.

Asifa mengeluarkan ponselnya dari balik saku gamis yang ia pakai. Asifa memutuskan untuk menghubungi Arezzo.

Tidak menunggu lama untuk Arezzo mengangkat telpon Asifa.

"Assalamu'alaikum, Dek, kenapa?" tanya Arezzo dari seberang sana.

"Waalaikumsalam, Bang."

"Iya kenapa Dek? Kamu masih di rumah sakit?" tanya Arezzo lagi.

Asifa mengangguk. "Iya. Hiks." Isakan tangis wanita itu menembus pertahanan yang susah payah dilakukan.

"Dek kamu nangis?"

"Hiks... ngga kok Bang." Percuma Asifa berbohong pun, karena ia berucap dengan isakan tangis.

"Saya akan segera ke sana!" Di tempat Arezzo, laki-laki itu dengan terburu-buru menyudahi rapat dengan klien. Dan semua urusan ia serahkan pada orang kepercayaannya.

****
Pandangan Aisyah terarah ke langit-langit kamar, dengan tatapan yang kosong. Terbentuk sungai kecil di kedua sudut mata wanita itu, terus meluruhkan cairan bening.

Aisyah berfikir, apalah dia di dunia ini, anak yatim piatu yang diasuh oleh keluarga kaya. Di dunia ini, ia hanya mempunyai Asifa sebagai keluarga dulu, sampai pada dia akhirnya menikah dengan Arezzo.

Aisyah pikir, dengan memiliki rumah tangga, dia bisa merasakan keluarga yang lengkap. Namun, semua itu enyah setelah kenyataan menerpa. Bahkan adiknya juga ikut andil dalam menanamkan luka.

Tok... Tok..

Karena suara ketukan pintu, Aisyah dengan sigap menghapus air mata yang masih terus ingin mengalir, Aisyah tahan dengan memejamkan mata.

"Assalamu'alaikum," salam Ulfa dari luar ruangan inap Aisyah. Namun, setelah beberapa ketukan pintu, tetap tidak ada yg menyahut.

Ulfa memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan itu, dia mendapati Aisyah yang terbaring dengan selang infus yang masih setia menggandeng tangannya.

Ulfa berjalan mendekat. Dia berdecih pelan, karena jika diperhatikan lebih dekat terlihat jelas bekas air mata di cadar dan mata Aisyah.

"Menangis lagi? Kenapa kamu yang nangis sih? Malah pelakor itu yang senang-senang sama suami kamu," gumam Ulfa.

"Assalamu'alaikum," salam Ulfa.

Setelah tahu yang datang adalah dokter Ulfa, Aisyah membuka matanya, lalu menoleh ke arah Ulfa.

"Waalaikumsalam, Dok." Aisyah tersenyum di balik cadarnya.

Ulfa mengambil alih kursi yang ada pada sebelah Aisyah terbaring.

"Sudah jauh lebih mendingan. Saya ingin pulang, tapi malah ngga dapat izin dari dokter Andi," ungkap Aisyah.

Ulfa tersenyum. "Itu karena Dokter Andi tau, kalo saat ini dokter Aisyah itu belum pulih."

"Saya sudah baik-baik saja kok," ucap Aisyah mencoba meyakinkan Ulfa, siapa tahu kan, jika dokter itu bisa membantunya pulang.

Ulfa hanya geleng-geleng. "Astagfirullah... Dokter anteng-anteng aja istirahat di sini, tiduran manis." Ulfa membantu memperbaiki selimut Aisyah yang tersingkap.

"Setelah itu, dokter bisa jaga IGD 24 jam lagi," kata Ulfa. "Kalo sekarang, ngga ada yang mau jadi pasien kamu, karena dokternya aja sakit masa mau ngurus orang sakit?" Ulfa mencoba untuk bergurau, menghibur

****

Dengan langkah lebar, Arezzo memasuki area taman rumah sakit. Matanya mengerling mencari objek yang dicari-cari. Dada Arezzo kembang kempis, dengan nafas yang mulai kembali teratur.

Sampai pada tunak mata Arezzo menemukan figur Asifa yang sedang berada di bawah rindangnya pohon. Tak mengulur waktu lagi, segera Arezzo berjalan dengan santai ke arah Asifa.

Asifa dalam keadaan menunduk, berurai air mata. Hingga membuat ia tidak menyadari kehadiran seorang Arezzo.

"Dek," panggil Arezzo. Namun, Asifa tidak memberikan respon apapun. Mungkin karena wanita itu terlalu tidak memperdulikan sekitar.

"Dek!" panggil Arezzo sekali lagi. Masih sama, Asifa bergeming.

Arezzo menyentuh bahu Asifa,membuat wanita itu tersentak. Asifa mendongak melihat, siapa orang yang datang. Mata bulat istri Arezzo itu melebar.

"Abang Arez?"

Arezzo mengangguk. Ia duduk di bagian kursi sebelah Asifa. "Apa ini ada sangkut pautnya dengan-"

Dengan cepat Asifa menggeleng. "Tidak bukan masalah itu."

"Lalu?"

Asifa kembali menunduk, ia menatap sneakers yang membalut kakinya. Asifa menggeleng. "Bukan apa-apa. Maaf, Asifa ganggu abang kerja."

"Asifa, cepat beritahukan pada saya!" pinta Arezzo penuh tekanan.

Lagi-lagi Asifa masih tetap menggeleng.

Arezzo menghembuskan nafas kasar, menghadapi perempuan bukan ahlinya.

"Kalau kamu nggak bilang, gimana saya mau tau?"
Asifa menggeleng. "Aku ngga pa-pa kok," ucap wanita itu berusaha meyakinkan.

"Kamu bilang, atau orang yang udah bikin kamu nangis akan menerima akibat yang sangat berat!" tukas Arezzo.

Asifa memejamkan matanya sebentar, tidak ada gunanya menyembunyikan hal ini dari Arezzo, toh, pada akhirnya laki-laki itu akan tau juga.

"Tadi–" Asifa mulai menceritakan apa yang terjadi, saat dirinya ada di ruangan dokter Ulfa tadi. Dengan nada menahan tangis, Asifa mengingat kata-kata yang telah diutarakan oleh Ulfa. Sungguh, hal itu mampu menggores luka pada hati Asifa.

Arezzo mengusap wajahnya dengan kasar, lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Laki-laki itu sudah tahu, bahwa hal akan pasti terjadi pada mereka, setelah memutuskan untuk menikah. Inilah resiko.

Arezzo menoleh ke arah Asifa. "Tolong bersabarlah, semua pasti akan baik-baik saja. Maaf sudah membuat kamu berada di posisi ini."

Asifa juga menoleh ke arah Arezzo. "Bang, mau sampai kapan kita seperti ini. Baru dokter Ulfa yang mengatakan ini saja, hati Asifa udah sakit banget. Gimana kalo setelah ini, semakin banyak yang–" Pengaduan Asifa terpotong oleh ucapan Arezzo.

"Sssttt... percaya, semua akan baik-baik saja. Beri saya waktu. Saya tau, kamu adalah wanita yang kuat." Arezzo berucap yakin.

Air bening makin membanjiri pipi Asifa. "Bang, maafin aku sudah membuat Abang berada di posisi ini." Asifa menunduk.

Arezzo menggeleng singkat. "Kita sudah membicarakan ini sebelumnya, ini semua bukan salah kamu. Ini semua sudah takdir. Seharusnya saya yang minta maaf, karena tidak bisa melakukan apa-apa."

"Sudal–" Ucapan Arezzo terhenti saat tunak matanya mendapati seorang figur dengan snelli yang melekat di tubuhnya. Ya, itu adalah dokter Andi yang tengah berjalan dengan seorang suster.

"Hapus air mata kamu. Saya harus pergi, ini urusan penting. Menjauhkan rayap kecil yang bisa merobohkan pondasi rumah tangga saya." Setelah mengatakan itu, Arezzo beranjak berdiri dan segera berlari ke arah ruangan Aisyah, istrinya.

Madu (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang