24

12.5K 482 6
                                    

Berkas pasien menumpuk di hadapan Aisyah, ia masih harus memeriksa semua itu padahal sudah berada di rumah. Hal itu guna untuk memahami kasus yang sedang ia tangani. Walaupun sudah menjadi dokter, dia juga harus lebih paham dan teliti. Bahkan, sampai sekarang Aisyah masih suka membaca buku saat dia kuliah dahulu.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam lewat, tapi sepertinya tanda-tanda mengantuk belum menghampiri Aisyah.

Setelah pernah diserang sakit sebulan yang lalu, Aisyah harus lebih hati-hati. Ia mengatur waktu tidur dan makanannya secara normal dan sesuai anjuran, kebutuhan tubuhnya.

"Ya ampun, remaja sekarang. Ampe hatam aku, penyakit yang sebagian besar dialami mereka. Masih masalah abdomen," ujar Aisyah. Abdomen adalah bahasa medis dari perut.

Aisyah mencoret lembar kertas, ia menuliskan obat-obat yang perlu diberikan pada pasiennya.

"Agggrtt!"

Karena terlalu terkejut, tulisan Aisyah sampai tercoret dengan tidak estetiknya. Kegiatan Aisyah terhenti seketika.

Aisyah beranjak dari tempat duduknya. Ia mencari dari mana sumber teriakan itu, yang ternyata berasal dari kamar Arezzo, dan sekarang juga sudah menjadi kamar Asifa.

Langkah kaki dan jantung seakan berpacu, Aisyah berlari menuju kamar Arezzo. Untunglah pintu pembatas tidak dikunci.

Pertama kali tertangkap oleh indra penglihatan Aisyah saat memasuki area kamar Arezzo, adalah sang pemilik kamar sedang berdiri di atas ranjang. Yang menarik perhatian Aisyah adalah sapu di tangannya suaminya.

"Apa apa Mas?" tanya Aisyah.

Arezzo menunjukkan raut wajahnya seakan baru menyadari kehadiran Aisyah.

"Ada kurma, eh, itu–" Arezzo berucap tidak jelas, tapi tangannya terus menunjuk pada lantai.

Aisyah membawa langkanya mendekat pada Arezzo. "Kenapa Mas berdiri di kasur, sambil bawa sapu lagi."

"Awas, Aisyah, awas, itu ada kurma jadi-jadian!" teriak Arezzo.

"Hah? Kurma jadi-jadian?" tanya Aisyah ia masih tidak mengerti apa yang terjadi pada suaminya itu.

Arezzo menujuk lantai tempat Aisyah berdiri. "Ada itu."

Penasaran, Aisyah mengikuti arah yang ditunjuk oleh Arezzo. Hasilnya, Aisyah tidak menemukan sesuatu yang aneh di sekitarnya.

Aisyah berkacak pinggang. "Sebenarnya ada apa Mas?"

"Aaa! Itu ada kecoak di deket kamu!" Arezzo memasang ancang-ancang, juga bendera perang antara kubu dirinya dan kubu kecoak kecil di dekat Aisyah.

Arezzo berharap, sapu yang sedang dia pegang sekarang dapat memberikan manfaat untuknya di situasi seperti ini.

Aisyah menepuk jidat. Bibirnya berkedut, menahan tawa yang bisa kapan saja pecah dalam waktu dekat. Aisyah menatap lekat wajah suaminya dengan menengadah, uniknya laki-laki itu di saat ketakutan'pun dia masih memasang wajah datar.

"Dasar wajah tembok," gumam Aisyah.

"Mas, ayo turun. Masa takut ama kecoak sih," kata Aisyah seraya menarik tangan Arezzo. Namun sepertinya laki-laki itu enggan untuk turun.

"Bukan takut, Aisyah, tapi geli." Arezzo berucap seakan tidak terima dengan pernyataan sang istri, walaupun itu adalah kenyataannya.

"Ya ampun, kenapa Mas Arez jadi labil sekali?" Aisyah masih berusaha menarik tangan suaminya, tapi sang empu sangat bebal tidak mau menurutinya.

Aisyah menghembuskan napas pelan, jika seperti ini, justru dia merasa lelah. Wanita itu lebih memilih duduk di tepi ranjang. Sedangkan Arezzo, dia masih betah berdiri sambil ancang-ancang memegang sapu.

Bola mata Aisyah bergerak, mencari ide yang bisa membuat keuntungan untuk dirinya. Hingga pada detik ketiga, tunak matanya terhenti pada hewan kecil tak berdosa di lantai.

Sepintas ide terlukis indah pada otak cerdas Aisyah. Ia bangkit, lalu meraih kecoak yang sepertinya tengah mengalami masa sakaratulmaut.

"Aisyah, apa yang kamu lakukan! Jangan, ya Allah. Aaaaa!"

Aisyah tertawa lepas setelah melempar kecoak itu pada Arezzo, hingga membuat laki-laki itu berteriak seperti cacing kepanasan. Seakan Arezzo melupakan semua kode etik seorang laki-laki.

Naasnya, hewan kecil berbentuk kurma itu menempel pada baju oblong Arezzo. Tentu hal itu membuat suami Aisyah itu makin menggeliat ketakutan.

Entah disengaja atau tidak, Arezzo menarik Aisyah yang masih setia menertawakan sang suami, membuat istrinya jatuh pada kasur. Tidak sampai di sana, Arezzo ikut menjatuhkan tubuhnya di samping Aisyah. Namun sebelum itu, Arezzo sapu ke sembarang arah.

Aisyah terpaku pada tempatnya, ia mengerjapkan mata. Karena terlalu terkejut, Aisyah sampai tidak menyadari Arezzo memeluk tubuhnya, sangat erat dan hangat.

Arezzo menarik selimut sampai pada bahunya dan Aisyah. Laki-laki itu semakin merapatkan tubuh pada Aisyah.

"Mas, sadar sepenuhnya kan?" tanya polos Aisyah.

Arezzo 'pun ikut terpaku, otak pintarnya mulai berputar memikirkan kenyataan-kenyataaan yang ada. Apakah benar dia sedang tidak sedang sadarkan diri?

Arezzo menggeleng cepat. "Biarkan seperti ini, sampai kecoak itu pergi." Arezzo menarik selimut sampai benar-benar menutupi tubuhnya dan Aisyah.

"Mas, nanti Asifa gimana?" tanya Aisyah. "Biar aku balik ke kamar sebelah aja." Aisyah hendak melepaskan dekapan Arezzo, tapi terhenti karena tubuhnya semakin terjerat dalam pelukan sang suami.

"Ck, kamu lebih memikirkan orang lain daripada suami sendiri, ya?" Arezzo berdecak.

Tidak mau menekankan egois, keduanya masih sama-sama gengsi untuk mengatakan, bahwa posisi mereka saat ini mampu membuat aliran hangat membasahi setiap urat-urat pada raga keduanya.

Lama mereka sama-sama terdiam, hanya keheningan malam yang menemani. Hanya diterangi cahaya minimal dari seluruh selimut, mata indah Aisyah bertubrukan langsung secara nyata dengan mata hitam legam Arezzo.

Arezzo menelisik kecantikan Aisyah pada malam hari ini, aktivitasnya dimulai dari bagian mata istrinya. Arezzo menemukan sebuah ketulusan pada organ paling cantik. Tidak sampai di sana, Arezzo memperhatikan keseluruhan wajah Aisyah.

"Bidadari," gumam Arezzo, tentu tidak terdengar jelas oleh-oleh Aisyah.

"Mas bilang apa?"

Arezzo tersenyum tipis dan menggeleng. "Dadang lari," jawabnya.

"Hah? Siapa dadang Mas?" Aisyah menautkan alisnya.

"Kamu tidak tahu?" tanya Arezzo. Matanya masih tidak mau lepas dari mata indah sang istri.

Aisyah menggeleng polos.

"Itu flm Dadang," ucap datar Arezzo. "Dia lagi dikejar bencong, makanya Dadang lari." Arezzo mengarang cerita. Namun dia bertanggungjawab atas karyanya, karena di dalam hati ia mengucapkan kata maaf untuk siapa saja yang bernama Dadang.

"Hoalah seperti itu, ya?" Aisyah mengangguk-angguk percaya penuh dengan suaminya.

Arezzo mengangguk. Mungkin benar, saat ini dia tidak sadar sepenuhnya karena separuh sudah beralih atensi pada Aisyah.

"Hm, Mas, ngga kepanasan?" tanya Aisyah, karena saat ini dia rasa sudah bermandikan peluh.

Arezzo menggeleng lagi.

Ingin sekali Aisyah menertawakan laki-laki itu, karena telah membohonginya. Yang benar saja, bahkan peluh sudah memberikan efek glowing pada wajah Arezzo.

Tidak ingin mengambil resiko, segera Aisyah memberikan tindakan dengan membuka selimut yang menutupi dirinya dan Arezzo.

"Pengap, Mas," ujar Aisyah. Ia mencoba melepaskan pelukan Arezzo. Namun, usahanya mungkin tidak terlalu keras, karena tidak membuahkan hasil.

"Biarkan seperti ini hanya untuk malam ini. Setidaknya sampai arwah kecoak itu tidak menghantui kamar ini."



Madu (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang