39

18.4K 638 121
                                    

Lagi dan lagi, Arezzo pulang dengan kekecewaan. Tidak ada Aisyah yang ikut bersamanya. Ia menoleh ke arah kursi mobil yang ada di sebelahnya, berharap dalam waktu dekat istrinya akan duduk di sana.

Sebelum memutuskan untuk keluar dari mobil, laki-laki itu menghembuskan napasnya dengan berat, lalu mengusap wajahnya dengan kasar.

Asifa berdiri tegap di depan pintu, menyambut kedatangan Arezzo. Wanita itu tersenyum hangat. "Gimana Mas, Mbak Aisyah ikut pulang kan?"

"Kamu liat sendiri," ucap Arezzo, lalu melenggang pergi meninggalkan Asifa yang memaku.

Perlahan senyum Asifa memudar. "Mas, apa Mba Aisyah masih marah?"

Arezzo yang belum melangkah terlalu jauh dari Asifa, menghentikan langkahnya.

Arezzo mengangkat kedua bahunya. "Saya tidak tahu."

Seakan ada butiran debu yang menghampiri, bola mata Asifa berkaca-kaca. Hidung wanita itu memerah, menahan tangis.

"Benar, Mbak Asifa masih marah," lirih Asifa. Ia mengikuti langkah Arezzo, tapi tidak bisa disetarakan, karena laki-laki itu sudah terlebih masuk ke dalam ruang lift.

Asifa meringsut menjauh, dia lebih memilih untuk berada di ruang tengah rumah besar milik kakak ipar dan kakaknya sendiri. Selama ia telah menikah dengan Arezzo, sekalipun dia tidak pernah merasakan sebagai nyonya di rumah ini. Miris sekali.

Asifa menjatuhkan diri pada sofa empuk, dibalut dengan kain sultra itu.

"Hiks..." Wanita itu tidak bisa menahan tangis yang membuatnya sesak pada dada.

"Maaf, Mbak Aisyah. Asifa sayang Mbak." Asifa meletakkan tangan di atas perutnya yang mulai membuncit, dan perlahan menggerakkannya.

"Ini semua salah Asifa. Hiks. Seandainya malam itu tidak terjadi, pasti semua ini akan–" Asifa tidak mampu berucap apapun lagi. Suara isakan tangisnya pecah seketika.

"Hiks... ya Allah, kesalahan Asifa harus ditanggung semua orang. Seandainya–" Wanita itu terus saja meracau dalam seluh tangisnya.

"Asifa juga tidak ingin ini semua terjadi, tapi Asifa juga tidak bisa memilih ke mana hati ini akan berpihak." Asifa menunduk, memijit pangkal hidungnya.

Masih di bawah atap yang sama, dengan kondisi yang tidak jauh berbeda dari Asifa, ada Arezzo yang kini berada di kamar Aisyah dengan tanpa ada sang empu di dalamnya.

"Aisyah, seandainya kamu tahu semua ini sangat menyiksa saya." Arezzo meringsut duduk di tempat tidur milik Aisyah.

Arezzo menerawang ke langit-langit kamar, setelah kepergian Aisyah malam itu, entah mengapa laki-laki itu seketika merasakan sebuah kekosongan pada hatinya. Hal itu sangat sulit untuk dijabarkan dengan ucapan.

Dari kecil, pada diri Arezzo telah melekat sikap sangat sulit untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan, dan tidak bisa menggambarkannya dari raut wajah. Arezzo hanya bisa mengekspresikan dirinya dengan sebuah tindakan. Bahkan untuk tersenyum, ataupun menitikkan air mata.

Arezzo berdiri kembali, ia menggerang marah pada dirinya sendiri. Merasa hidupnya saat ini seperti robot yang berjalan, tanpa bisa mengatakan apa yang dia inginkan.

"Aaggrt!"

Brakk.

Tangannya tanpa disengaja mengebrak meja nakas milik Aisyah, hal itu sukses membuat Arezzo terpaku takut.

Pikirannya bekerja cepat, bagaimana jika Aisyah tidak ingin kembali padanya lagi. Arezzo bergerak sebaliknya dari otaknya, ia menatap dalam diam bingkai foto yang jatuh dari meja.

Madu (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang