"Ada apa ini Asifa?" tanya Aisyah lagi. Ia mengambil langkah mendekat ke tempat Asifa berdiri.
"Mengapa kau di kamar ini, mengapa tidak bersama dengan mas Arez?" Aisyah terus saja mencerca Asifa dengan pertanyaan.
Asifa masih terdiam, dia masih berada di posisi shok karena tiba-tiba kakanya berada di kamarnya.
"Asifa jawab!" Aisyah menaikkan intonasi suaranya, karena Asifa tidak kunjung menjawab pertanyaannya.
"Tolong jawab Asifa, jangan membuat mbak berfikir yang tidak-tidak!"
Hening, seakan jawaban terkunci rapat pada mulut Asifa enggan untuk keluar.
"Jangan bilang, jika kamu pisah kamar dengan mas Arez?" tanya Aisyah. Ia hanya menebak, sesuai dengan apa yang ada di otaknya.
Aisyah memegang keningnya, bibirnya ternganga di balik cadar. "Jangan diam saya Asifa! Diam bagi perempuan adalah sebuah jawaban 'iya'."
"Kenapa Asifa, kenapa!? Mas Arez lagi sakit, dan kamu ninggalin dia begitu saja? Hah?" Aisyah mengguncangkan tubuh Asifa, mungkin karena terlalu geram.
Asifa menggeleng. "Ini tidak seperti yang Mbak pikirkan. Ak–"
"Apa?" tanya Aisyah menantang Asifa untuk berkata jujur.
"A–ku sudah lama tidur di kamar ini," jawab Asifa. Wanita itu menunduk tidak berani menatap Aisyah.
Aisyah semakin tidak percaya, dengan untaian kalimat yang keluar dari bibir Asifa. "Apa maksud kamu? Jadi selama ini kalian pisah ranjang?"
Asifa mengangguk pelan. "Aku tidak ingin terjadi ketidakadilan di antara kita, Mbak. Sungguh, aku tidak ada niat apapun."
Aisyah menggeleng. "Tidak seperti ini caranya, Asifa."
"Ya Allah, setelah sekian lama, kenapa aku baru tahu sekarang?" Aisyah mengusap wajahnya kasar.
"Aisyah."
Suara serak itu menginstruksikan Aisyah dan Asifa menghentikan perbincangan.
"Itu suara bang Arez," kata Asifa. Aisyah mengangguk, karena juga tahu.
"Asifa, sana kamu temui mas Arez, mungkin dia butuh sesuatu," suruh Aisyah mendorong pelan bahu Asifa.
Asifa menatap heran Aisyah. "Loh, kenapa nggak Mbak saja, kan yang dipanggil itu nama Mbak."
Aisyah menggeleng cepat. "Itu mas Arez manggil nama kamu, mungkin typo. Sudah san–"
"Udah sana, jangan banyak alasan." Asifa menggiring Aisyah untuk pergi dari kamarnya, dengan mendorong pelan bahu wanita itu. Hingga sampailah kaki Aisyah menginjak lantai kamar Arezzo.
Kepekaan rangsangan yang tinggi, Arezzo menyadari ada seseorang yang baru saja masuk ke dalam kamarnya. Manik mata Arezzo bergerak mencari orang itu.
"Aisyah," lirih Arezzo.
Aisyah terpaku di depan pintu penghubung kamar suami dan adiknya. Ia tidak tahu harus berbuat apa, niat hati ingin menghindar dari laki-laki bernama Arezzo, tapi seakan takdir menyuruh mereka selalu berurusan.
"Aisyah, akhirnya kamu pulang." Arezzo tersenyum sangat tipis, untuk menggambarkan kebahagiaan pada dirinya.
Aisyah berdeham sebentar, untuk menetralisir rasa gugup dan kecanggungan yang sangat kentara di antara mereka. Aisyah mendekat ke arah Arezzo.
"Mas, kenapa bisa sakit seperti ini?" tanya Aisyah. Pertanyaan itu sebenarnya sudah ditemukan jawabannya oleh Aisyah sendiri.
"Terimakasih telah mau pulang," kata Arezzo memaksakan suaranya agar bisa menembus ke luar.
Aisyah tersenyum kecut. "Aiss ke sini karena mau minta tanda tangan Mas, untuk menyetujui gugatan cerai Ais."
Wajah Arezzo yang tadinya terdapat sedikit guratan, kini berubah menjadi datar. "Saya tidak akan pernah menandatangani itu."
"Mas, Ais mohon, jangan egois untuk kali ini saja. Tolong biarkan Aiss bebas, Ais capek." Aisyah berucap lirih. Ia tidak berani mendongakkan kepalanya.
Arezzo diam sejenak, sebelum menarik tangan Aisyah yang menjuntai tidak jauh darinya. Jadilah, Aisyah kini duduk di ruang kosong ranjang.
Arezzo mengunci tangan Aisyah dalam genggamannya. "Ais, saya mohon jangan pergi." Arezzo berucap dengan nada serius.
Bisa dirasakan oleh Arezzo tangan Aisyah yang bergemetaran dan dingin bersentuhan kulit dengannya.
Aisyah menatap dengan tatapan tidak bisa terbaca, pada tangannya yang digenggaman Arezzo. Ingin menepisnya, tapi ditahan oleh laki-laki itu.
"Apa yang harus saya lakukan, agar kamu mau kembali ke rumah ini?" tanya Arezzo. Dia terdengar berputus asa.
Aisyah menahan agar air matanya tidak meluruh lagi, sudah cukup selama ini cairan itu terkuras habis dalam ikatan pernikahan ini.
Bahtera rumah tangga itu adalah jalan kita mencari amal dan pahala, jika sudah seperti kondisi hubungan Arezzo dan Aisyah, itu hanya akan mendapatkan dosa dan sakit baik batin maupun fisik.
"Sudah cukup Mas, sepertinya hubungan kita tidak bisa dipertahankan."
Aisyah berusaha keras dalam diam mencoba melepaskan tangannya dari Arezzo, dan pada akhirnya ia berhasil jua.
"Aisyah," lirih Arezzo.
Menjadi seorang Arezzo dari kecil cukup menyulitkan, karena laki-laki itu tidak bisa mengungkapkan apa yang dia rasakan. Hingga, saat ini dia tidak bisa mengatakan apapun lagi.
Itulah alasan mengapa sikap Arezzo selama ini terkesan menyia-nyiakan Aisyah, tapi kenyataannya laki-laki itu juga sangat kesulitan untuk mengexpresikan diri. Yang ada hanya apa yang dia katakan atau perbuat, semua itu akan menyakiti Aisyah.
"Apa yang harus Ais lakukan, agar Mas mau menandatangani ini?" Aisyah menyodorkan sebuah map, yang tadi terabaikan di atas nakas.
Arezzo memasang wajah datar, lalu menghembuskan napas kasar. "Baiklah, jika itu mau kamu. Tapi ada syaratnya."
Kecewaan atau kebahgiaan yang harus Aisyah rasakan saat ini? Entah mengapa, ada sisi dalam dirinya yang mengharap Arezzo menolak semua itu.
"Apa syaratnya, Mas? Aku harap Mas masih tahu batasan." Aisyah takut jika Arezzo memberikan persyaratan yang tidak bisa dia penuhi.
"Rawat saya sampai sembuh. Selama itu, kamu tinggal di sini, melakukan aktivitas seperti biasa," jelas Arezzo.
Aisyah terdiam dengan persyaratan itu, sebenarnya tidak terlalu sulit. Namun, ia tidak yakin jika keputusannya tidak goyah.
"Tap–"
"Setujui syarat itu, atau saya tidak akan tanda tangan sama sekali," tegas Arezzo.
"Tapi Mas janji'kan setelah itu, akan menandatangani surat cerai itu?" tanya Aisyah. Memastikan, Jaga-jaga jika nanti Arezzo tidak bertindak sesuai ucapan.
"Saya berjanji. Tapi, dengan satu syarat lagi." Arezzo baru ingat akan sesuatu, tidak berniat untuk menambahkan persyaratan.
"Yah Mas, kan Aisyah–"
"Selama itu, kamu tidur satu ranjang dengan saya."
Jika seperti itu, sama saja perjuangan Aisyah untuk melupakan Arezzo sia-sia. Tidak ada yang tahu, jika perasaan Aisyah akan tergoyahkan dalam beberapa hari ke depan.
Namun, Aisyah juga tidak bisa menolak, hanya itu satu-satunya jalan agar ia bebas dari ikatan pernikahan.
Membiarkan Asifa dan Arezzo memiliki kebahgiaan bersama, Aisyah mengalah. Mengaku kalah, karena merasa sudah tidak pantas lagi bersanding dengan Arezzo.
Arezzo menarik Aisyah agar ikut rebahan bersamanya, dia memeluk begitu posesif pinggang istrinya itu.
"Saya sangat mencintaimu," ucap Arezzo.
Sudah Aisyah duga, selalu akan ada godaan untuk membuat pertahanannya goyah. Aisyah menggeleng cepat.
"Mas, semua itu sudah terlambat." Aisyah ingin beranjak pergi, tapi apalah daya jika melawan kekuatan tubuh seorang Arezzo.
Ingetin aku untuk update yaaa. Sering kelupaan soalnya. Hehehe
KAMU SEDANG MEMBACA
Madu (Lengkap)
RandomCERITA INI BISA MEMBUAT EMOSI ANDA JUNGKIR BALIK SALTO MENGGELINDING ⚠️ Aisyah harus menghadapi kenyataan pahit ketika suaminya, Arezzo, menghamili adiknya, Asyifa. Hatinya hancur, merasa dikhianati oleh dua orang terdekatnya. Meski terluka, Aisyah...