42 Tetangga Baru

18.9K 619 40
                                        

Aisyah terbangun dari tidurnya, saat mendengar sayup-sayup suara lantunan suci Al-Quran terdengar.

"Sstt." Aisyah memegangi kepalanya yang terasa berat dan pusing.

Aisyah mengingat, setelah pertengkarannya kemarin dengan Arezzo, ia menangis hingga ketiduran.

Rutinitas seperti itu sudah sering dirasakan oleh Aisyah, semenjak pernikahan antara dirinya dan Arezzo terjalin.

Aisyah menoleh ke arah dinding, di mana ada sebuah jam yat menggantung. Ini sudah menujukan jika sebentar lagi akan masuk waktu sholat shubuh.

"Ya Allah." Aisyah kembali memegang kepalanya.

Biasanya, Aisyah tidak pernah telat bangun seperti sekarang. Ia akan bangun setengah jam sebelum adzan shubuh berkumandang.

"Gimana ya keadaan mas Arezzo?"

Aisyah memutuskan melangkah menuju ruang tengah, tempat terakhir ia bersama dengan Arezzo malam tadi.

Aisyah mengedarkan pandangannya, tidak mendapati sang suami di sudut manapun. Wanita itu menghembuskan napas lega, mungkin Arezzo telah lelah membuntuti didirikannya dan memutuskan untuk pulang.

"Aku harap mas Arez paham apa yang aku ucapkan malam tadi," gumam Aisyah.

Setelahnya, Aisyah memutuskan untuk melaksanakan sholat shubuh terlebih dahulu.

Tidak ada pembantu di apartemennya, jadilah Aisyah yang mengerjakan semuanya, walaupun keteteran. Seperti saat ini, sudah hampir satu jam ia berkutat di dapur, tapi sepertinya sepiring nasi goreng belum bisa disajikan.

Aisyah memakai kaca matanya, dan masker yang biasa ia gunakan di rumah sakit. Bisa dibilang, ia sedikit trauma dalam memotong bawang membuat wanita itu harus berjaga-jaga.

Aisyah memicingkan matanya, meneliti apakah belahan pada bawang di tangannya sudah sama ukurannya atau belum.

"Keknya perlu lebih ke kiri lagi, yang kanan kekecilan potongannya."

Bayangkanlah, saat ini wanita bernama Aisyah itu berpenampilan persis seperti tengah menangani seorang pasien.

Tok... tok...

Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Aisyah, membuat wanita itu memberhentikan aktivitasnya.

Aisyah memutar otak, berdiam sebentar. "Siapa yang bertamu sepagi ini? Apa tukang koran?"

"Mungkin seorang yang minta sedekah."

Sebelum menuju pintu, Aisyah terlebih dahulu berbelok ke kamarnya guna mengambil uang receh. Untunglah di dompetnya ada selembar uang dua ribu rupiah.

Dengan mengembangkan senyum, Aisyah kembali ke tujuan awal untuk membukakan pintu dan memberikan uang receh itu.

"Assalamu'alaikum," salam seorang laki-laki dari luar.

Seakan familiar dengan suara bas itu, Aisyah mendongak. Refleks matanya terbelalak, saat manik matanyaaa menadapati figur Arezzo di depannya.

"Eh." Aisyah mengerjap, mencerna apa yang baru saja terjadi.

Arezzo menaikkan alisnya. Ia melirik tangan Aisyah yang masih mengulurkan uang receh. Laki-laki itu mengambil benda itu, dengan sedikit merasa terhina. Namun, bagi Arezzo itu adalah sebuah hadiah dari Aisyah.

"Maaf, Mas. Aku kira tadi maling," cicit Aisyah. Wanita itu tidak berani langsung menatap Arezzo.

Tidak, Arezzo tidak tersinggung saat ini. Mungkin jika orang lain yang mengatakannya seorang pemaling, ia akan sedikit tidak suka. Namun, ini adalah istrinya, tidak bisa ia berbuat apa-apa.

"Saya memang pemaling." Arezzo menyodorkan gelas kosong ke arah Aisyah. "Saya mau minta gula, apakah ada? Saya mau buat kopi."

Aisyah menyerengit, Arezzo jauh-jauh kemari hanya untuk meminta gula? Apakah benar, suaminya itu jadi pemulung sekarang, sudah bangkrut? Aisyah sangat yakin, di rumah Arezzo tersedia berkarung-karung gula.

"Ah iya, saya belum bilang, saya sekarang adalah tetangga kamu yang tinggal di depan." Arezzo menujuk pintu yang tertutup di belakangnya.

Aisyah menghembuskan napas lelah. Seperti yang dia duga, tidak mudah membuat Arezzo mengerti apa itu kata 'pergi'. Aisyah hanya ingin hidupnya tenang dan jauh sebentar saja dari pikiran berat, dengan berdekatan dengan Arezzo itu membuat usahanya gagal total.

"Apa yang Mas mau?" tanya Aisyah.

Arezzo keukeuh menyodorkan gelas kosong. "Saya belum berbelanja, jadi tidak punya gula."

Aisyah mencoba untuk tersenyum, baiklah anggap Arezzo adalah seorang tamu saat ini. Maka layanilah sebagai tamu pada umumnya.

Aisyah mengambil gelas yang disodorkan.

"Silahkan masuk." Aisyah minggir dari pintu, memberikan akses pada Arezzo untuk masuk ke dalam ruangan.

Tidak mengulurkan waktu, Arezzo melangkah meninggalkan Aisyah.

Arezzo dipersilahkan duduk di ruang tamu, sementara Aisyah melangkah menuju dapur untuk memenuhi keinginan sang tamu.

Tidak lama kemudian, Aisyah kembali ke ruang di mana Arezzo berada.

"Ini Mas, gulanya." Aisyah menyodorkan gelas yang sudah terisi beberapa sendok gula.

Arezzo menatap gelas yang diulurkan padanya. Diam sebentar sebelum berucap, "Hm, saya baru teringat tidak ada serbuk kopi di apartemen saya. Apakah kamu punya?"

Aisyah tersenyum, dan mengangguk polos belum menyadari ada hal yang menjanggal pada Arezzo.

Wanita itu dengan suka hati kembali ke dapur, untuk mengambil serbuk kopi seraya membawa gelas yang telah diisi gula.

Aisyah kembali ke hadapan Arezzo yang tengah bersantai di sofa. Di tangan itu sudah ada gelas dengan isi serbuk kopi dan gula.

Aisyah meletakkan kopi di atas meja. "Sudah Mas, saya permisi dulu mau lanjut masak."

Arema menahan lengan Aisyah yang hendak berlalu.

Langkah Aisyah terhenti, ia menoleh ke arah suaminya. "Ada yang kurang Mas?"

Arezzo mengangguk. "Saya baru teringat, ternyata di apartemen saya juga tidak ada air hangat."

"Lahh?" Aisyah menatap bingung Arezzo.

"Boleh saya juga minta air hangatnya?" tanya Arezzo.

"Kenapa nggak sekalian minta dibuatin kopi aja sih, Mas," dengus Aisyah.

Arezzo menerbitkan senyum tipis. "Boleh juga."

Walaupun sudah seperti dipermainkan, tidak ada rasa kesal sedikitpun pada diri Aisyah. Wanita itu menghitung ini sebagai alat untuk dirinya mendapatkan pahala. Setelah ini tidak akan ada lagi yang seperti ini, setelah dirinya dan Arezzo resmi berpisah.

Aisyah menatap dalam diam pada Arezzo, yang tengah menyeruput kopinya.

"Mas, apakah benar Mas tidak mau mentalak Ais?" tanya serius Aisyah tiba-tiba.

Arezzo hampir tersedak mendengar lontaran kata yang terucap ringan dari bibir Aisyah.

Arezzo menggeleng. "Saya sudah bilang, hal itu tidak akan pernah terjadi!" Laki-laki itu meletakkan kembali gelas kopi ke atas meja.

Aisyah memilin ujung khimar panjangnya, ada rasa takut saat dia hendak mengatakan, "Bagaimana jika Ais yang menggugat cerai?"

Kali ini, terlihat sirat marah terpancar pada mata Arezzo. Tak terduga olehnya, Aisyah dengan berani mengatakan hal itu, apalagi sampai ia melakukannya.

Arezzo menatap tajam pada Aisyah, seakan ingin sekali membuat bibir istrinya tidak bisa bicara lagi, karena mengatakan hal yang tidak dia suka.

"Mengapa kau seperti ingin sekali melepas diri dari pernikahan ini?"

Aisyah membalas tatapan mengoyak dari suaminya itu. "Apa setelah semua yang telah terjadi, Mas masih bertanya?"














Madu (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang