13

20.3K 822 78
                                    

"Asifa, bukankah kamu bilang tadi pagi perut kamu mules?" tanya Arezzo.

Asifa diam, memutar kembali memori yang ada pada otaknya. Tak seberapa lama, Asifa mengangguk. "Tadi pagi memang badan aku ngga enak, dan juga muntah-muntah."

"Kamu periksa saja," saran Arezzo menatap Asifa sebentar lalu ke arah Ulfa. Arezzo tau, wanita itu adalah dokter kandungan yang sama saat dirinya mengantarkan sangat istri periksa kandungan.

Dalam sekian detik, Asifa bergeming. Mukanya berubah seakan tidak ada darah yang mengalir lagi. Asifa melirik ke arah Ulfa.

Denger gerakan cepat, Asifa menggeleng. "Tidak, aku sudah baik-baik saja."

Ulfa memutar bola matanya, dia menduga jika saat ini Asifa sedang tidak mau berinteraksi dengannya.

Ulfa memaksakan senyum. "Lohh... Asifa, yaudah sekarang kita periksa ya. Kita itu harus siap siaga." Ulfa menarik lengan Asifa.

Padahal, Ulfa sudah tahu tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan kondisi Asifa, karena hal yang dialami wanita itu wajar saat tengah hamil.

Asifa tidak berani mendongak melihat ke arah Ulfa. "Tap–"

Ulfa menggeleng. "Tidak ada tapi-tapian." Dokter muda itu melirik ke arah Arezzo. "Ya kan, pak Arezzo. Anda tidak mau kan terjadi apa-apa terhadap ANAK anda!" Sengaja Ulfa menekankan kata 'anak'.

Entah perasaan saja, Ulfa merasa atmosfer ruangan itu membuat moodnya buruk. Terutama saat dia melihat wajah tidak berdosa Arezzo. Ingin sekali, Ulfa berteriak tepat di wajah Arezzo, menyuarakan pendapatnya.

Arezzo hanya berdehem, menyetujui apa yang dikatakan oleh Ulfa.

Ulfa merekahkan senyum. Wanita itu menarik Asifa agar mengikutinya, tapi Asifa tidak bisa menolak.

Setelah Asifa dan Ulfa sudah meninggalkan ruang inap Aisyah, hal itu memberikan luang waktu untuk Arezzo dan Aisyah berdua saja di sana.

Arezzo berdehem, ia berjalan mendekat ke arah Aisyah.

"Kamu sudah minum obat."

Aisyah yang sedari tadi menunduk menahan pusing, kini mendongak. Aisyah menggeleng.

Dari mata saja, Arezzo sudah mengetahui bahwa saat ini Aisyah tengah didera rasa sakit.

Arezzo duduk di tepi ranjang, tepat di sebelah Aisyah.

Arezzo menyingkirkan tangan Aisyah yang sedang memijit dahinya, lalu digantikan oleh tangan berurat Arezzo. Laki-laki itu mulai memijit dahi sang istri dengan sangat lembut.

Aisyah terpaku, merasakan desiran hangatnya darah mengalir, jantung yang berdetak abnormal. Ada yang membuncah pada diri Aisyah, yaitu rasa bahagia yang terasa khayalan semata tapi nyata.

Ada apa dengan Arezzo, kenapa mendadak bersikap sangat manis.

Aisyah yang selalu merasakan pahit dari sikap suaminya, kini merasakan manis. Percayalah itu terasa sangat menjanggal, ada rasa yang tidak bisa dijelaskan dengan kata.

Tanpa terasa, air bening mengalir dari sudut mata Aisyah. Entahlah, air mata apa itu, bukan kebahagiaan bukan pula kesakitan. Hanya saja, tak latah menguasi jiwanya.

"Kenapa menangis?" tanya Arezzo seakan tidak tahu apa-apa. Laki-laki itu menjulurkan tangannya, lalu menghapus bercak yang masih tertinggal di sudut mata Aisyah.

"Kenapa Mas?" tanya Aisyah pelan.

Arezzo menukik alisnya. "Kenapa? Kenapa?" laki-laki itu baru menyadari akan suatu hal. Dengan sigap, Arezzo beranjak dari tempatnya. Ia melemparkan pandangannya ke sembarang arah.

Madu (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang