Terbongkar

23.2K 764 10
                                    

Aisyah terpaku di tempatnya berdiri di saat ini, sampai pada Asifa menyadari kehadiran seseorang di ruangan itu. Tunai mata Asifa mendapati figur seorang Aisyah, kakaknya.

"Mbak Aisyah," cicit Asifa.

Karena posisi Arezzo menghadap ke arah Asifa, jadi dia tak harus memutar tubuh untuk melihat Aisyah yang ada di belakangnya.

"Asifa, y–ang mbak denger nggak benerkan?" tanya Aisyah terbata-bata dana dengan intonasi pelan.

Asifa membuat wajahnya seolah tengah bersedih. "Hm, aku, itu." Wanita itu menggantung ucapannya.

"Memangnya kenapa kalo iya?" tanya Arezzo tiba-tiba.

Aisyah menggeleng. "Bagaimana bisa?" Ia menutup mulutnya.

Arezzo duduk kembali ke atas kursi kerjanya. "Kenapa tidak bisa?" Arezzo seolah merasa sangat sangat santai menghadapi masalah ini.

Aisyah menatap Arezzo tidak percaya. "Mas, aku dan Asifa itu udah hidup berdua dari kami kecil."

Arezzo mengangkat sebelah alisnya. "Apakah itu bisa jadi patokan, kalo kalian saudara kandung?"

Desiran darah menghangat, terasa mengalir di dalam raga Aisyah, saat mendengar setiap kata yang keluar dari mulut suaminya.

Aisyah menoleh ke arah Asifa. Ia berjalan mendekat ke arah wanita itu. Aisyah memegang kedua bahu Asifa, menatap lekat. "Asifa, bilang sama mbak, ini semua tidak benar?!"

Asifa tidak tahu harus menjawab apa, akhirnya dia memilih untuk diam.

Aisyah mengguncang tubuh Asifa pelan. Genangan yang sedari tadi bertahan di kelopak mata Aisyah, kini luruh begitu saja.

"Hiks. Asifa, kenapa kamu diam saja!" Aisyah masih tidak terima dengan kenyataan baru yang menyakitkan ini.

"Asifa!" teriak Aisyah.

"Iya, Mbak, ini kenyataannya." Asifa menunduk saat mengatakan itu, tidak sanggup menatap mata Aisyah.

Aisyah mundur beberapa langkah, sampai dia terduduk di sofa yang berada di belakangnya. "Hiks. Sejak kapan!" Aisyah menatap penuh tanya. "Sejak kapan kamu tau masalah ini!"

Asifa berjalan mendekat, duduk di sebelah Aisyah. Asifa membawa tubuh kakaknya ke dalam dekapan.

"Maaf, Mbak," lirih Asifa.

Aisyah tidak ada tanda-tanda pergerakan, akan membalas dekapan Asifa. Ia masih mencerna setiap kejadian pahit yang menghempaskannya pada rasa sakit.

"Sejak kapan," tanya ulang Aisyah.

Asifa menjauh beberapa senti dari Aisyah. "Maaf Mbak, aku menutupi ini. Hiks. Aku udah tahu dari dua tahun yang lalu." Wanita harap-harap cemas, takut jika sang kakak marah terhadapnya.

Aisyah menoleh ke arah Asifa. "Sudah selama itu, tapi kamu baru memberitahukannya sekarang?!"

Asifa menggeleng. "Maaf. Aku hanya menunggu waktu yang tepat."

"Tetap saja, Asifa, itu nggak bisa jadi alasan!" Aisyah kelepasan dalam meninggikan nada suaranya.

Asifa memejamkan matanya, menciut.

Aisyah memijit dahinya, kepalanya menjadi semakin sakit dan pusing. Sebelum berucap, Aisyah menghembuskan nafas kasar.

"Dari mana kamu tahu masalah ini?" tanya Aisyah. Intonasi suara menjadi lebih lembut.

Asifa tergagap ketika ditanya seperti itu. Asifa menoleh ke arah suaminya, yang kini sudah kembali sibuk dengan komputer dan berkas-berkas di mejanya. Tapi Asifa tau, tingkat kepekaan seorang Arezzo itu di atas rata-rata. Walaupun, Asifa tidak terlalu yakin akan hal itu.

"Asifa," panggil Aisyah.

Asifa kembali mengalihkan pandangannya ke Aisyah. "Gini Mbak ceritanya. Seminggu setelah ayah udah nggak ada, aku mencoba mencari tahu siapa pelaku dibalik peristiwa ini. Namun, bukan itu yang aku dapatkan dari pencarian, justru yang aku dapatkan adalah kenyataan ini."

Aisyah berdiri dari tempat duduknya. "Tidak! Kamu ngarang cerita, saya tidak percaya."

Asifa ikutan berdiri. "Apa yang bisa membuat Mbak bisa percaya?"

Tidak ada, Aisyah juga tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.

Asifa berjalan ke arah meja Arezzo, lalu membuka lacinya. Wanita itu mengambil sebuah amplop putih.

"Mbak, ini." Asifa memberikan amplop itu pada Aisyah.

Tanpa banyak kata dan bertanya, Aisyah dengan cepat membuka isi dari amplop yang diserahkan.

Dengan telaten, Aisyah membaca setiap kalimat yang tertulis. Sebuah pernyataan yang sangat amat menyayat hati Aisyah.

"Tes DNA?" gumam Aisyah.

"Iya, tes DNA. Sama seperti Mbak, awalnya aku juga tidak percaya. Maka dari itu aku melakukan tes itu. Aku berharap, bahwa akan memberikan pernyataan yang berbeda, tapi sama saja. Kita bukan saudara kandung," ungkap Asifa.

Aisyah menggenggam erat, secarik kertas medis di tangannya. Namun beberapa saat kemudian, perlahan dia lepas. Aisyah menghembuskan berat napasnya.

Aisyah tersenyum, ia memejamkan matanya. "Tidak peduli kandung ataupun tidak, kita tetap kakak adek."

Sudah kesekian kali dibohongi
Namun tak sungkan untuk kembali mempercayai. Perlahan, tapi pasti Aisyah undur diri. Namun, saat dia sudah berdiri di pintu penghubung kamar, Aisyah menoleh ke arah suaminya yang sedang sibuk, atau hanya menyibukkan diri karena ini sudah malam.

Sesampainya di dalam kamar, Aisyah menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur, dengan posisi telungkup. Kembali lagi, di kala sepinya malam, air mata menjadi penghalau keheningan.

Denyar nadi meruat tak karuan
ingin rasanya Aisyah menghalang laju mala, hingga pagi tak menyapa
Tapi denting waktu tak bermain kompromi.

                             ****

"Pagi Mas," sapa Asifa. Tangannya masih sibuk mengatur meja makan, dan menghidangkan masakannya.

Arezzo hanya tersenyum tipis, untuk menanggapi Asifa. Ia duduk di kursi utama meja makan itu.

Arezzo berpenampilan sudah sangat rapi dengan stelan jasnya. Rambutnya tersisir rapi, membuat penampilannya semakin terlihat sempurna. Wajah tampannya sudah tidak bisa diragukan lagi.

Arezzo melirik jam mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. "Di mana Aisyah," tanyanya.

Asifa tersenyum. "Mbak Aisyah belum turun dari ordo kamar, Mas." Asifa kembali menghidangkan makanan untuk Arezzo.

"Apa perlu, Asifa panggilkan?" tanya Asifa.

Arezzo menggeleng. "Tidak perlu. Kamu temani saya di sini saja."

Selama sarapan, Arezzo tidak fokus dengan makanannya. Tunak matanya entah sudah berapa kali, melirik ke arah tangga dan lift lalu melihat ke arah jam.

"Sepertinya aku perlu panggil Mbak Aisyah deh." Tanpa menunggu persetujuan dari Arezzo, Asifa sudah melenggang pergi.

Arezzo tersenyum sangat tipis. Ini yang dia suka dari Asifa, bisa mengerti sosoknya walaupun tanpa bertanya.

Namun, karena penasaran, Arezzo juga ikut menyusul Asifa.

Di dalam kamar, Asifa dikagetkan dengan kondisi sang kakaknya.

"Mbak Aisyah." Asifa berlari ke arah Aisyah yang tubuhnya terkapar di lantai.

Asifa mencoba membangunkan Aisyah, dengan cara mengguncangkan tubuh wanita itu.

"Mbak!"

Madu (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang