12. Stetoskop

19.6K 735 17
                                    

"Terkadang, mengalah lebih baik dari pada bertahan tapi hanya sebentar."

"Di rumah banyak orang," tukas Arezzo.

Aisyah menggeleng keukeuh. "Mas, nanti Asifa kesepian."

Arezzo mendesis. "Kesepian bagaimana, orang udah satu kabupaten saya kerjakan di rumah." Apa yang dikatakan Arezzo tentu tidak benar, karena kenyataannya para pekerja di rumah hanya kisaran ratusan orang saja.

Arezzo semakin mempererat duduknya. "Saya tetap di sini," putusnya tidak mau dibantah. 'Buat Jaga-jaga kalo si kutu unta datang,' batin Arezzo.

Aisyah dengan susah payah meraih tangan suaminya. "Mas, ayolah. Nanti anaknya ileran, kalo keinginan Asifa tidak terpenuhi."

Arezzo menghembuskan napas lelahnya, berdebat dengan Aisyah seperti tidak ada ujungnya.

"Kamu seorang dokter, tau benar kalo itu adalah mitos. Ngga ada hubungannya," ucap dingin Arezzo.

"Tap–"

Belum sempat ucapan kalimat Aisyah sempurna, sudah terlebih dahulu dipotong oleh Arezzo.

"Sudah diam, tidak ada penolakan." Setelah mengatakan itu, Arezzo benar-benar terlihat seperti tidak ingin dibantah oleh siapapun.

Aisyah mengatupkan kembali bibirnya. Ia memperbaiki posisi tubuhnya. Aisyah menatap langit-langit ruangan itu, berfikir hal apa yang bisa membuat Arezzo pergi dari situ. Bukan, bukan karena Aisyah tidak ingin ditemani oleh suaminya, tapi ia rasa Asifa lebih membutuhkan.

Aisyah menoleh ke arah Arezzo. "Mas ini kenapa? Apa boleh Aisyah berharap lebih dengan sikap mas ini?" tanya Aisyah sangat penuh kehati-hatian.

Hal yang sudah diduga oleh Aisyah, karena Arezzo tiba-tiba saja berdiri dari duduknya.

"Jangan berharap lebih!" tegas Arezzo.

Aisyah dengan susah payah meneguk ludahnya dengan susah payah. Aisyah mengangguk mengerti. Di mata wanita itu, sudah tergambar sebuah pantulan cermin air yang siap luruh kapan saja.

"Sepertinya kamu memang benar-benar tidak mau saya di sini!" kata Arezzo. "Apa kamu mau ketemu sama si dokter, Ondi itu, hah?!"

"Ondi siapa, Mas? Dokter Andi maksudnya?"

"Jangan sebut nama laki-laki itu!"

Sangat jarang sekali, Arezzo berbicara dengan nada penuh tekanan dan emosi seperti sekarang ini. Aisyah tentu merasa terkejut, dan menerima dengan ikhlas setiap tikaman tak kasat mata yang tertuju pada dadanya.

Arezzo mengepal tangannya yang ada di dalam saku. Dia sungguh tidak tau kenapa dia sampai lepas kontrol dalam intonasi suaranya. Sepertinya dia perlu menenangkan diri. Akhirnya, dengan segala pertimbangan Arezzo memilih keluar dari ruangan Aisyah.

Aisyah pikir Arezzo akan pulang, dan menemui Asifa. Namun, itu semua tidak terjadi, karena pada saat Arezzo baru saja dua langkah keluar dari ruang itu, ia melihat Andi tengah berjalan mendekat.

Arezzo menegang waspada, dokter itu pasti modus ingin menemui Aisyah dengan alasan medis.

Arezzo tidak jadi pergi, ia memundurkan kembali langkahnya, dan duduk di kursi yang sudah disediakan di depan ruangan. Supaya tidak terlihat seperti orang linglung, Arezzo memainkan ponselnya.

Dalam diam, ekor mata Arezzo melirik Andi yang berjalan semakin mendekat. Refleks tubuh Arezzo semakin waspada, seakan ada obak besar yang siap menerjang.

Namun, ternyata Andi tidak masuk ke dalam ruang Aisyah, melainkan ruang inap yang ada di sebelahnya.

Tanpa disadari, Arezzo menghembuskan nafas lega. Laki-laki itu memutuskan untuk melanjutkan tujuan untuk pergi dari tempat itu.

Namun lagi-lagi, langkah Arezzo terhenti. Sekarang bukan karena dia melihat Andi, tapi karena selintas pikiran menghantuinya. Naasnya itu masih tentang Andi.

"Menyebalkan sekali," gumam Arezzo. Ia kembali duduk di tempat semua.

Arezzo memikirkan, bagaimana jika nanti Andi tiba-tiba datang ke ruangan Aisyah saat dirinya pergi. Tidak, Arezzo tidak bisa membiarkan itu terjadi. Jadi, laki-laki itu memutuskan untuk tetap menjadi penjaga ruangan Aisyah.

                               ****
"Jangan pernah ragu membuang hal yang buruk, ingatlah jika ingin terbang tinggi, kamu harus meninggalkan hal yang membertakanmu." Ulfa berkata dengan sangat tulus, dan juga berharap Aisyah mengerti dengan ucapannya.

Ulfa sengaja berkunjung menjenguk kondisi dari rekan medisnya. Tapi, tadi Ulfa sempat melihat Arezzo yang sepertinya banting setir dari CEO menjadi satpam. dia sedikit tidak suka dan ingin sekali mencincang orang itu.

Aisyah yang tadinya pusing, kini dibuat tambah pusing dengan apa dibicarakan oleh dokter Ulfa.

Jangan bilang, dokter Ulfa tau masalah yang menimpa biduk rumah tangga Aisyah dan Arezzo?

Ulfa tersenyum begitu hangat. "Aisyah aku tau kamu wanita yang kuat
Tapi Ai, aku juga wanita, tau bagaimana rasa sakitnya dimadu. Walaupun aku tidak pernah merasakannya langsung. Aku tau Aisyah, kamu tersiksa kan dengan ini?" Ulfa menggenggam tangan Aisyah.

Aisyah tersenyum, walaupun dia sedikit marah karena Ulfa mengungkit permasalahan rumah tangganya. Namun, Aisyah mencoba memahami niat baik Ulfa.

"Terimakasih dokter sudah memperhatikan saya. Dok, terkadang berbagi juga tak selamanya pahit." Aisyah mengatakan itu, seraya berdoa di dalam hati, agar rasa manis segera datang.

Ulfa tahu, jika Aisyah memiliki hati yang sangat luas. Namun, Ulfa tidak setuju jika Aisyah memilih untuk mengalah dan terus mengalah.

Belum sempat Aisyah mengatakan apapun, tiba-tiba saja ketukan pintu terdengar. Dua insan beda jenis masuk ke dalam ruangan. Bisa ditebak bahwa mereka berdua adalah Arezzo dan Asifa.

Asifa berlari ke arah Aisyah, dan langsung berhamburan ke kakaknya itu.
"Hiks, Mbak, Asifa khawatir banget!" adunya.

Aisyah tersenyum di balik cadarnya. "Mbak ngga apa-apa kok. Cuma kecapean aja."

Asifa tidak mau melepaskan diri dari tubuh Aisyah, ia semakin mempererat dekapannya. "Hiks..."

Aisyah bisa merasakan hijabnya menjadi basah. Dengan usaha yang cukup butuh perjuangan, Aisyah melepaskan tubuh Asifa darinya.

"Kamu kenapa nangis?" tanya Aisyah, seraya menghapus air mata Asifa yang ada di pipi.

"Pasti Mbak sakit, karena aku. Hiks, maaf." Asifa berucap lirih.

"Kok kamu mikirnya gitu?" tanya Aisyah.

"Hiks, Mbak pasti banyak pikiran karena aku. Trus mbak juga pasti capek. Hiks, maaf." Suara Asifa terdengar sangat parau, mungkin sebelumnya wanita itu juga menangis.

"Sstts... kamu ini ngomong apa toh? Mbak sakit bukan karena banyak pikiran, tapi memang kecapean. Kan kamu tau, dokter itu sibuk. Hehehe." Masih sempat Aisyah bergurau, walaupun dalam hati dia menangis meringis menahan tangis.

"Ck... kenapa dia yang nangis." Ulfa berdecih pelan. Namun, kuping Asifa cukup mampu menangkap signal getaran suara.

"Yaudah, dokter Aisyah saya permisi. Cepat sembuh. Jangan terlalu banyak pikiran."


Madu (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang