26

12.2K 423 7
                                    

Aisyah berdiri di ambang pintu, menatap ke dalam ruangan fokus pada seorang wanita di dalam sana.

Asifa sedang fokus melakukan pergerakan yoga, sehingga tidak menyadari kehadiran sangat kakak.

Jika ditanya, Aisyah pasti akan selalu mengatakan dengan setulus hati, bahwa Asifa adalah adiknya. Namun, ia melupakan kenyataan pahit yang dia terima beberapa bulan lalu. Asifa bukanlah adik kandung Aisyah.

Aisyah tersenyum kecut. "Kamu akan selamanya menjadi adikku. Apapun yang bisa membuat kamu bahagia, pasti Mbak akan usahakan untuk hal itu terwujud." Ya, seperti berbagi suami.

Kebahagiaan sang adik, adalah kebahagiaan Aisyah. Begitulah prinsip yang sedsri dulu ia tanamkan pada diri sendiri.

"Assalamu'alaikum," salam Aisyah.

Asifa baru menyadari ada yang datang, ia menoleh ke sumber suara. Asifa tersenyum mendapati figur Aisyah berjalan mendekat ke arahnya.

"Bagaimana babynya masih rewel nggak? Masih sering muntah kah?" tanya Aisyah. Wanita itu duduk di tepi ranjang kamar Arezzo dan Asifa. Ya, walaupun sesak akan datang, ketika Aisyah akan menyatakan hal itu.

Asifa menggeleng. "Untuk tiga hari terakhir, aku tidak merasakannya lagi. Ya, terkecuali saat dekat dengan abang Arez. Bawaannya eneg. Hahaha." Asifa menyusul Aisyah duduk di tepi ranjang.

"Ada-ada saja kamu ini."

Asifa mengambil handuk kecil, untuk mengelap sedikit keringat yang membuat permukaan kulitnya lembab.

"Aku serius ihh, Mbak," kata Asifa. "Nih ya, mendingan Mbak aja yang satu kamar ama abang Arez. Kalau perlu, angkut aja ke kamar Mbak," lanjut Asifa. Sarannya sangat tidak dibutuhkan untuk saat ini, karena keadaan hubungan Aisyah dan Arezzo yang tak kunjung ada penjelasan, walaupun sudah terikat pernikahan.

"Mbak udah nyaman tidur sendiri," bohong Aisyah. Ia memilin ujung hijabnya, aktivitas itu sering dia lakukan ketika sedang berbohong ataupun gugup. Sayangnya, Asifa tidak memperhatikannya.

"Tidur sama suami lebih nyaman kali, Mbak," timpal Asifa.

Aisyah hanya tersenyum kikuk. "Hm, Dek, boleh mbak nanya sesuatu?" tanya Aisyah mengalihkan pembicaraan.

"Tentu, dong. Silahkan mau nanya apa."

Aisyah menatap serius pada adiknya. "Kamu tahu dari mana kalau sebenarnya kita bukan saudara kandung?"

Wajah Asifa yang tadinya berseri, kini berubah seakan tidak mengalir lagi darah pada bagian wajahnya. Asifa tidak menduga  pertanyaan itu akan keluar dari mulut sang kakak.

"Boleh kakak tahu?" tanya Aisyah. Ia tahu ini akan menyakitkan keduanya, tapi Aisyah juga perlu tahu bukan?

"Baik Asifa, ini saatnya bakat akting kamu dikeluarkan," batin Asifa.

Asifa menoleh ke arah Aisyah, ia memasang wajah sendu. "Apa yang harus aku katakan kak?" Nada suara Asifa terdengar gemetar.

Aisyah paham, ia mengamit tangan Asifa, berubah menyakinkan dan menguatkan. "Kita hadapi sama-sama."

Dengan berat hati, Asifa mengatakan, "Aku anak adopsi Mbak."

Tak ayal, itu membuat mata Aisyah terbelalak. Ia membeku pada posisinya. Kalimat yang diutarakan oleh Asifa terus terngiang pada otaknya. Tidak, bagaimana mungkin?

"Tidak mungkin," kata Aisyah. Ia menutup mulutnya yang sedikit ternganga dengan telapak tangan.

Setelah berusaha sedikit keras, akhirnya air mata turun juga pada pipi Asifa. Saat ini wanita itu terlihat sangat menyedihkan di mata Aisyah.

Madu (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang