38

19.3K 751 405
                                    

Setelah kepulangan terpaksa dari rumah Aisyah tiga hari yang lalu, Arezzo menjadi lebih pendiam. Jika dulu hanya dirinya yang membeku, kini orang-orang di sekitarnya juga mendapatkan imbas.

Contohnya seperti saat ini, kemarahan Arezzo memang tidak terlihat dari permukaan wajahnya ataupun kata-katanya. Namun, sikapnya cukup terlihat jelas.

Arezzo merobek dengan tega hati, beberapa lembar laporan yang sudah susah payah dibuat oleh bawahannya.

"Laporan macam apa ini?" tanya dingin Arezzo.

Sang bawahan yang bertanggungjawab atas pekerjaan itu, ia hanya menunduk ciut.

"Maaf Pak," ucap Sesil, yang ditakdirkan hari ini menjadi korban kemarahan sang atasan.

"Saya tidak butuh kata maaf kamu." Arezzo membuang kertas-kertas yang telah tak berbentuk itu pada Sesil, hingga berserakan.

"Perbaiki!"

"Baik, Pak."

Sesil terlalu takut untuk berlama-lama berada di dalam ruangan atasannya itu, hingga ia memutuskan untuk hengkang pergi.

Arezzo memutar-mutar pena di tangannya. Otaknya bekerja lebih keras beberapa menit itu, memikirkan hal apa yang bisa membuat Aisyah bisa kembali ke dekapannya.

Laki-laki itu yang paling dekat dengan Aisyah tiga tahun terakhir adalah mamanya, tapi menelpon mamanya dan mengatakan keluh itu sama saja dengan mengundang malaikat maut.

"Hidup saya tidak pernah seribet ini, jika bukan masalah Aisyah," gumam Arezzo.

"Apa yang sudah lakukan kepada saya, hingga membuat saya seperti ini?"

Tok... tok...

Ketukan pada pintu ruang Arezzo, berhasil mengalihkan atensi penglihatan sang empu.

"Maaf Pak, anda telah ditunggu di ruang rapat," ungkap seorang laki-laki yang tak lain adalah sekretaris Arezzo sendiri.

Ada banyak faktor mengapa Arezzo memilih sekretaris seorang laki-laki, yang paling utama adalah dia ingin menjaga jarak yang bukan mahramnya.

"Laporan keuangan yang saya minta, sudah diberikan?" tanya Arezzo.

Denil mengangguk. "Sudah Pak."

"Baiklah." Arezzo beranjak berdiri dari duduk, dan memperbaiki menampilkannya yang sedikit berantakan.

Arezzo mulai mengambil langkah menuju pintu keluar ruangan. Namun, kakinya berhenti melangkah, kala otaknya teringat akan sesuatu.

Arezzo menoleh ke belakang, di mana ada Denil di sana. "Bagaimana kondisi anak kamu?" tanya laki-laki itu.

Denil tersenyum kecil. "Masih di ruang inkubator, dan kondisinya masih belum stabil."

Arezzo menaikkan sebelah alisnya. "Lalu mengapa kau tetap bekerja, bukannya tetap berada di samping istrimu?"

"Maaf Pak, saya membutuhkan uang yang besar. Jika tidak bekerja, saya tidak bisa membiayai anak dan istri saya," ungkap Denil. Ia menunduk tidak enak hati, karena telah menceritakan masalah pribadinya pada atasan.

"Kamu ambil cuti saja. Dan masalah biaya, saya akan mentransfer tiga ratus juga ke rekening kamu sekarang."

Arezzo mengeluarkan ponsel yang ada di dalam sakunya. Apapun yang keluar dari mulut laki-laki itu, tidak pernah ia ingkari karena semua benar sesuai tindakannya.

"Sudah saya transfer," ucap Arezzo beberapa saat kemudian.

Denil terpaku di tempat, matanya berkaca-kaca terharu. Tidak menjunjung gengsi, Denil hendak berlutut di hadapan Arezzo. Namun, segera ditahan oleh sang empu.

Madu (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang