46

16.2K 546 65
                                    

Aisyah tengah sibuk mematut diri di cermin, penampilannya sangat sederhana kali ini. Namun, tetap saja aura kecantikannya terpancar sempurna.

Hari ini, Aisyah memiliki sebuah rencana  keluar rumah guna mengurus beberapa urusan, baik tentang perceraian di pengadilan, maupun pekerjaan sebagai seorang dokter.

Aisyah melirik handphonenya yang berada di atas tempat tidur, ini masih jam tujuh pagi. Sengaja Aisyah bersiap lebih awal, karena dia akan bertemu dengan dokter Ulfa terlebih dahulu nanti. Katanya, dokter Ulfa ingin menyampaikan hal penting pada Aisyah.

Mengingat akan sosok Arezzo, Aisyah menjadi bertanya-tanya, apakah laki-laki itu sudah benar-benar mengerti dengan keadaan.

Setelah kejadian malam itu, paginya Aisyah tidak melihat lagi kehadiran Arezzo di depan rumahnya. Bahkan, setelah tiga hari, Aisyah belum mendapati batang hidung suaminya itu.

"Kira-kira apa ya, yang mau dibicarakan oleh dokter Ulfa, keknya penting banget." Aisyah berucap seraya mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan kamar tidak terlalu luas itu.

Tunak mata Aisyah terhenti pada sebuah foto yang terpajang pada dinding kiri kamar, di dalam bingkai usang terdapat sebuah foto keluarga, ibu, ayah, Aisyah, dan Asifa.

"Bu, Ais rindu."

"Semoga ini adalah langkah terbaik dalam hidup Ais." Aisyah tersenyum kecut. "Maaf Ais nggak bisa lagi menjalankan amanah ibu untuk menjaga Asifa. Ais lelah, ingin istirahat sejenak."

"Semoga semua baik-baik saja."

Aisyah memulai langkahnya hari ini, dia hengkang dari rumah susun yang telah usang itu. Di sepanjang koridor, banyak sapaan diterima oleh Aisyah.

"Pagi, Neng Aisyah."

"Aisyah, lama tidak terlihat di sini."

Dan masih banyak lagi untaian kalimat yang keluar, mengajak Aisyah untuk bercengkrama. Namun, wanita itu hanya menanggapi seadanya.

                                ***

"Maaf telat," ucap dokter Ulfa. Wanita itu baru satu detik duduk di bangku sebelah Aisyah.

Aisyah menggeleng. "Tidak apa." Jari jemarinya yang lentik, bermain pada bibir cangkir kopi di hadapannya.

Ulfa menjadi tidak enak hati, karena dia yang mengajak untuk bersua justru dirinya telat. Kali ini, alasannya bukanlah macet, tapi kendala drama pasien.

Aisyah melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan, sebenarnya dia tidak memiliki banyak waktu.

Aisyah menoleh ke arah Ulfa. "Dokter Ulfa, mau minum apa?"

Ulfa menggeleng. "Saya tidak haus, terimakasih."

Aisyah meraih buku menu di hadapannya. "Dokter harus pesen sesuatu, biar saya yang bayar."

Dokter Ulfa hendak menolak, tapi sudah terlebih dahulu disanggah oleh Aisyah.

"Tidak boleh menolak, ini adalah rejeki. Itung-itung saya traktir untuk pertama kali. Hehehe."

Tidak enak hati untuk menolak lagi, dokter Ulfa akhirnya memilih menuruti keinginan sahabatnya itu.

Entah mengapa, hari ini Ulfa melihat ada yang berbeda dari Aisyah. Namun, ia sendiri tidak tahu apa itu. Mungkin dari segi aura yang biasanya mendung kini menjadi tidak bisa dideskripsikan.

"Dokter mau ngomong apa?" Aisyah memulai percakapan yang sempat tertunda.

Dokter Ulfa diam sejenak, tangannya sibuk mengutak-atik isi tasnya mencari hal yang ingin dia tunjukkan pada Aisyah.

Madu (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang