Di ruang rumah sakit yang sunyi dan steril, monitor-monitor berdentang dengan stabil, memotong keheningan yang terasa begitu berat. Aisyah terbaring tak bergerak di atas tempat tidur putih rumah sakit, wajahnya tenang namun tergambar rasa sakit dan perjuangan yang tak terbantahkan. Matanya, yang dulu penuh dengan semangat hidup, kini memancarkan rasa penerimaan saat ia menatap wajah-wajah yang dikenal yang berkumpul di sekelilingnya.
Arezzo berdiri di samping tempat tidurnya, ekspresi tegarnya melembut oleh beban kehilangan yang tak terelakkan. Athaya, anak mereka, berpegangan erat dengan tangannya, wajahnya berlumuran air mata menjadi cermin dari emosi yang bergolak di dalam hatinya yang masih muda. Ruangan itu redup, cahaya yang samar memancarkan bayangan yang seolah menari dengan harapan yang menyala di dalam hati mereka.
"Aisyah," bisik Arezzo, suaranya gemetar oleh emosi. "Kamu begitu kuat."
Senyum samar tersungging di bibir Aisyah, suaranya hampir hanya berbisik. "Aku harus kuat, untuk Athaya." Ia memalingkan pandangannya ke arah putranya, matanya berkaca-kaca oleh cinta dan duka. "Athaya, sayangku, mendekatlah."
Athaya mendekati sisi ibunya, napasnya tersengal-sengal. "Umii..." ia tercekat, tak mampu menemukan kata-kata di tengah duka yang melanda.
Aisyah meraih tangan Athaya dengan lembut, menapaki pipi putranya dengan tangan rapuhnya. "Kamu adalah kekuatanku, Athaya. Ingatlah itu selalu." Suaranya gemetar dalam usaha berbicara, namun matanya menyimpan keyakinan yang teguh. "Aku butuh kamu untuk kuat sekarang, untuk kita berdua."
Athaya mengangguk, air mata mengalir deras di pipinya tanpa henti. "I will, Umi. I promise."
Pandangan Aisyah beralih ke arah Arezzo, ekspresinya melembut dengan kelembutan yang penuh getir. "Arezzo, aku tahu ini bukan seperti bagaimana kita merencanakan masa depan kita bersama."
Arezzo meremas tangan Aisyah dengan lembut, tak mampu menyembunyikan kesedihan di matanya. "Aku akan memberikan apapun untuk mengubah ini, Aisyah. Apapun."
Tertawa kecil terlepas dari bibir Aisyah, diikuti oleh rasa sakit. "Hidup tidak selalu sesuai rencana, cintaku." Ia mengambil napas dangkal, menenangkan dirinya. "Tapi aku ingin kamu berjanji padaku."
"Apa pun," Arezzo bersumpah, suaranya pecah oleh tangisan yang tertahan.
Pegangan Aisyah pada tangannya sedikit mengencang. "Jaga Athaya. Cintailah dia sepenuh hati. Dia akan lebih membutuhkanmu dari sebelumnya."
"I will, baby," bisik Arezzo, suaranya tercekat oleh air mata yang belum tumpah. "Aku berjanji padamu, Aisyah."
Pandangan Aisyah meluncur ke arah jendela, di mana sinar pertama fajar mulai mewarnai langit dengan warna emas dan merah muda. Suaranya, sekarang hampir hanya berbisik, membawa perasaan damai yang mendalam. "Dan untuk semua orang..." Ia berhenti sejenak, mengumpulkan kekuatannya. "Aku mengampuni kalian."
Arezzo dan Athaya saling bertukar pandang, hati mereka terberatkan oleh kata-katanya. Aisyah melanjutkan, suaranya teguh meskipun air mata mengalir di wajahnya. "Untuk semua rasa sakit, kesalahpahaman, dan momen yang hilang... Aku mengampuni kalian."
Air mata mengalir bebas sekarang, bergabung dengan ratapan pelan yang bergema di ruangan itu. Aisyah menutup matanya, perasaan tenang menyelimuti tubuhnya yang rapuh. "Lepaskan masa lalu," bisiknya. "Hiduplah dengan cinta, selalu."
Keheningan menyelimuti ruangan, hanya terpotong oleh irama lembut detak jantung Aisyah yang semakin meredup. Tangannya terlepas dari genggaman Arezzo, napasnya semakin dangkal dan berat. Dengan satu napas terakhir, Aisyah melepaskan diri, semangatnya menemukan kedamaian dalam dekapan damai abadi.
Arezzo dan Athaya tetap berada di sisinya, duka mereka menjadi saksi cinta yang telah mendefinisikan hidup mereka. Di keheningan ruang rumah sakit, di tengah aroma antiseptik yang tersisa dan gemerisik peralatan medis yang lembut, mereka menemukan kelegaan dalam pengetahuan bahwa cinta Aisyah akan selamanya hidup dalam hati mereka.
****
Arezzo terbangun dengan detak jantung yang masih berdegup kencang dari mimpi buruk yang baru saja dialaminya. Dalam mimpi itu, Aisyah, cinta sejatinya, pergi meninggalkannya untuk selamanya. Rasanya seperti nyata, membuatnya sulit untuk membedakan antara mimpi dan kenyataan.Sambil mencoba menenangkan diri, matanya terfokus pada layar ponsel yang terletak di meja samping tempat tidur. Sebuah pesan dari Zehan menarik perhatiannya. Isinya mengguncang batinnya lebih dari mimpi yang baru saja dialaminya. Athaya, anak yang selama ini dia pikir adalah dari pernikahannya dengan Aisyah, ternyata adalah buah cinta mereka berdua.
Arezzo merasa seolah-olah tanah di bawah kakinya bergetar. Bagaimana mungkin? Aisyah tidak pernah menikah lagi setelah mereka berpisah. Semua informasi ini membuatnya terkejut dan juga penuh penyesalan. Dia segera bergerak dengan terburu-buru, meninggalkan kamar hotel dalam keadaan berantakan, menuju ke arah rumah Aisyah.
Perjalanan yang seharusnya hanya beberapa menit terasa seperti berjam-jam bagi Arezzo. Hatinya dipenuhi oleh kekhawatiran, harapan, dan penyesalan. Begitu sampai di depan rumah Aisyah, dia merasa seolah-olah waktu telah berhenti. Rumah itu terlihat sama seperti yang dia ingat, tetapi kini ada rasa kosong yang mengisi udara di sekelilingnya.
Dengan gemetar, Arezzo mengetuk pintu. Hatinya berdebar keras ketika langkah-langkah ringan terdengar dari dalam. Pintu terbuka perlahan, dan di sana, Aisyah berdiri di ambang pintu dengan tatapan campuran antara kejutan dan kelegaan di matanya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Aisyah dengan suara gemetar.
Arezzo merasakan air mata menetes di pipinya. Dia tidak bisa menahan diri lagi. "Aisyah, aku..." suaranya tercekat oleh emosi.
"Aku tahu semuanya," potong Aisyah, suaranya penuh dengan getaran emosional. "Zehan memberi tahuku tentang Athaya. Tentang kebenaran yang selama ini tersembunyi."
Mereka berdua saling menatap, tanpa kata-kata yang perlu diucapkan. Mata mereka memancarkan rasa lega, rindu, dan cinta yang tak terucapkan selama bertahun-tahun. Arezzo melangkah maju, meraih hendak tangan Aisyah dengan penuh kelembutan. Namun ditolak Aisyah.
"Apa yang telah kita lewatkan?" bisik Arezzo, suaranya serak oleh emosi.
"Apa pun yang terjadi, kita selalu satu keluarga," jawab Aisyah lembut, membiarkan tangannya hendak dipegang oleh Arezzo namun tidak jadi karena tersadar jika mereka sudah bercerai.
Mereka berdua berdiri di ambang pintu, di antara masa lalu yang berdebu dan masa depan yang belum tertulis. Dalam senyuman dan pelukan mereka yang hangat, mereka menemukan kembali apa artinya untuk saling mencintai, memaafkan, dan mengerti.
Di malam yang penuh emosi ini, cinta mereka merajut kembali benang-benangnya yang terputus, memperbaiki semua yang pernah terluka, dan memberi ruang untuk harapan baru yang tumbuh di hati mereka berdua.
Ini adalah kisah tentang cinta yang bertahan, tentang kekuatan pengampunan, dan tentang bagaimana sebuah kebenaran bisa memulihkan yang telah hampir terlupakan.
End
MAAFKAN JIKA BANYAK KESALAHAN DI DALAM CERITANYA. KARENA AUTHOR JUGA MANUSIA. TERIMAKASIH PENDUDUK BUMI YANG BACA CERITA INI. LOVE YOUUU.

KAMU SEDANG MEMBACA
Madu (Lengkap)
DiversosCERITA INI BISA MEMBUAT EMOSI ANDA JUNGKIR BALIK SALTO MENGGELINDING ⚠️ Aisyah harus menghadapi kenyataan pahit ketika suaminya, Arezzo, menghamili adiknya, Asyifa. Hatinya hancur, merasa dikhianati oleh dua orang terdekatnya. Meski terluka, Aisyah...