Yuk jangan jadi silent readers ;)
1 vote kamu berarti sejuta bagi penulis❤"Siang pak." Seorang sekretaris masuk ke ruang direktur utama dari Perusahaan Pratama Grup.
Direktur Utama yang tengah berdiri di samping kaca besar memandangi sesisi kota kemudian membalikkan badannya. Ia berjalan mendekat menduduki kursinya.
"Ada apa?"
Sekretaris tersebut meletakkan tumpukan amplop dan map yang di bawanya. "Ini kiriman buat bapak yang saya ambil dari lobi, silahkan di cek."
Laki-laki yang menginjak usia empat puluh lima tahun tersebut mengangguk sebagai jawaban. Amplop dan map tersebut pasti sebagain besar isinya menyangkut perusahaan atau pekerjaan.
Sekeretaris itu membungkuk singkat. "Kalo gitu saya permisi pak." Ucap sang sekretaris lalu undur diri dan tak lupa menutup kembali pintu ruangan.
Semua tertulis untuk Bapak Erlangga Dinaro Pratama yang terlihat begitu formal. Nama-nama pengirimnya juga dari orang atau perusahaan yang rata-rata ia sudah kenal. Hingga ada satu map yang nama pengirimnya hanya tertuliskan inisial "S". Tangannya tertarik untuk membuka map coklat tersebut.
Dahinya bekerut saat yang tertarik keluar hanyalah kertas kosong. Namun tak lama ia menemukan yang janggal.
Untuk
Dia yang meninggalkanDari
Dia yang tersisihkan.
Setelah membacanya beliau tampak meneguk ludahnya kasar. Ketika keseluruhan kertas telah keluar dari map ia membalikkan kertas tersebut dan menemukan lukisan bunga yang cantik. Ia tahu bunga apa itu dan ia tahu pula artinya. Jiwa seniman masih mengalir dalam dirinya meski bukan lagi kegiatan utamanya.
Kertas itu seketika terjatuh dari pegangannya saat matanya menangkap pita merah kecil di pojok.
Flashback..
Seorang anak gadis dengan rambut kuncir dua datang mendekati ayahnya. "Ayah, Syila boleh ikut melukis nggak?" Tanyanya dengan mata yang mengerjap-ngerjap.
Sang ayah berhenti fokus pada lukisan yang tengah dikerjakannya, perhatiannya ia taruh pada sang putri. "Emang Syila mau lukis apa?"
Gadis kecil itu meletakkan telunjuk di pipinya, bertingkah seolah sedang berfikir. Hal itu sontak mengundang senyum sang ayah. "Syila tadi main ke halaman sama ibu, terus liat bunga mawar. Syila mau lukis itu ayah."
Ayahnya kemudian bangkit berdiri. "Yaudah, Syila ikut melukis sama ayah ya." Segala peralatan diambilkan, mulai dari canvas kecil, penyangganya, hingga kursi, dan yang lain-lain.
Syila tersenyum menampilkan giginya. "Makasi ayah, nanti kalau udah besar Syila mau jadi pelukis kayak ayah."
Ayahnya mengelus rambut Syila gemas. Sejak kapan putri kecilnya ini sudah begitu besar dan pandai berbicara. Hatinya juga sangat senang melihat sang anak memiliki ketertarikan yang sama dengannya.
Lama waktu mereka habiskan bersama dengan canda tawa. Suasana di antara mereka terasa begitu hangat dan dekat. Wajah mereka juga tak kalah berwarna daripada canvas di depan ayah dan anak itu. Mereka saling jahil menyapu warna di wajah satu sama lain.
Sang ayah menengok ke lukisan anaknya yang hampir jadi. Ia mencondongkan tubuhnya mendekat. Kuas di tanggannya kemudian memberi goresan di lukisan Syila. "Nanti kalo kamu melukis selalu tambahin pita merah kecil di bawah, jadi ayah tahu kalau itu lukisan anak ayah." Ucapnya setelah memberi contoh pada Syila di canvas kecil itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romansa Remaja Satu Atap (END)
Teen FictionBagaimana ketika Syila ditemukan takdir bahwa ia harus tinggal satu atap dengan seorang laki-laki yang ternyata juga most wanted di sekolah baru nya nanti. Jika kalian berpikir karena hamil? Tenang, bukan itu alasannya. Alasannya sederhana yang memb...