Part 43 "Kesalahan"

60.4K 6.2K 141
                                    

Yuk jangan jadi silent readers ;)
1 vote kamu berarti sejuta bagi penulis❤

Arlan mendudukkan Syila perlahan di bangku taman. Wajah gadis itu terlihat merah dan basah penuh air mata. Tangan Arlan terulur mengusap air mata di pipi Syila semaksimal mungkin tanpa meninggalkan bekas. Badan Syila masih bergetar karena ia menangis hingga sesegukan. Hati Arlan terasa perih menyaksikan pemandangan ini.

"Udah mendingan?" Tanya Arlan lembut menatap Syila lekat-lekat.

Syila menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Sangat sulit rasanya untuk berbicara saat ini. Air matanya berhenti turun saja sudah lebih baik.

Syila balik menatap laki-laki di depannya. "Makasi." Ucapnya seraya tersenyum kecil. Kali ini kedatangan Arlan benar-benar sesuatu yang ia syukuri. Jika Arlan tak membawanya keluar entah seberapa hal lebih lagi yang bisa ia alami. Syila merasa sudah tak kuat lagi menanggunggnya.

Tangan Arlan tiba-tiba mengelus sisi samping wajah Syila lembut. "Sama-sama." Ketika mata mereka bertemu dengan satu sama lain disitulah Arlan baru tersadar akan tindakannya. Buru-buru ia menarik tangannya kembali.

Sial, Syila merasa pipinya menjadi panas dan perutnya terasa geli.

Arlan berdehem singkat, menetralkan perasaannya. "Jadi itu ayah lo?" Tanya Arlan setelah yakin kondisi Syila sudah berubah stabil.

Syila memainkan jarinya. "Iya, dia orang yang sering gue tangisin." Jawabnya.

Arlan menganggukkan kepala. "Oke." Ucapnya seraya tersenyum kecil.

Di sampingnya, mata Syila memandangi Arlan bingung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di sampingnya, mata Syila memandangi Arlan bingung. Kenapa laki-laki ini melah mengangkat sudut bibirnya. Sejauh ini belum ada bagian yang menyenangkan dari apa yang baru saja ia alami. "Kenapa senyum?"

Arlan menggeser duduknya lebih dekat ke arah Syila. "Karena gue udah nggak ada saingan buat jadiin lo pacar." Tepat setelah mengucapkannya Arlan mengedipkan salah satu matanya.

"Uhuk....uhuk..."

Syila memalingkan wajahnya ke samping. Kenapa Arlan blak-blakan sekali, bukankah ia bisa menyampaikannya sedikit tersirat demi keamanan hati Syila. Perutnya terasa bergejolak dan jantungnya berpacu lebih cepat.

"Salting ya?" Ucap Arlan tanpa rasa menyesal sedikitpun.

Tangan Syila memukul bahu Arlan. "Apaansih lo." Alisnya bertaut satu sama lain menandakan bahwa saat ini Syila merasa kesal. Tapi ia jadi dapat melupakan masalahnya untuk sejenak.

Arlan menatap ke sekeliling taman. "Jadi gimana perasaan lo habis ketemu sama ayah sendiri?" Tanya Arlan kembali pada topik awal pembicaraan.

Syila diam, ia tak kunjung mengeluarkan sepatah kata.

Tangan Arlan terjulur mengambil telapak tangan kanan Syila dan menggenggamnya lembut. "Cerita aja, gue yakin bakal lebih lega." Tegas Arlan dengan pancaran mata yang menunjukkan seolah dia orang yang dapat dipercaya. Karena Arlan ada disini menjadi telinga dan punggung bagi Syila, mendengarkan ceritanya dan menjadi sandaran dikala sedih. Arlan lebih memilih sekaligus mengetahui segalanya dibanding setengah-setengah.

"Gue kecewa sama dia sampai ketika dia minta maaf gue nolak." Jelas Syila dengan suasana yang lebih rileks. Jika ia belum siap menceritakan pada sang ibu setidaknya ada orang lain yang bisa ia ajak berbagi terlebih dahulu.

Pandangan mata Arlan lurus ke depan, ia tak ingin memberi kesan seolah tengah mengintrogasi. "Gue ngerti, tapi perlahan lo pasti bisa maafin. Setidaknyaknya dia berinisiatif buat datengin lo." Balas Arlan dari sudut pandangnya.

Syila menggeleng. "Susah Arlan, gue selalu kebayang sama hari-hari dimana dia nggak pernah ada di momen penting hidup gue."

Arlan akhirnya menghadap ke arah Syila. "Gue tahu rasanya hidup tanpa ayah, kalo lo masih ada di dunia ini bedanya papa gue enggak. Gue yakin memaafkan pasti akan mempermudah segalanya."

Syila merasa janggal dengan jawaban Arlan. Ini bukan masalah dimana ayah mereka saat ini, melainkan alasan mereka pergi meninggalkan. "Tapi ayah gue ninggalin sebagai sebuah pilihan sedangkan ayah lo bukan." Tukas Syila.

Di sampingnya Arlan nampak menengadahkan kepalanya ke atas. Ia lantas memegang pundak Syila. "Gue nggak mau lo nyesel, selagi ayah lo hidup seenggaknya beri dia kesempatan." Jawab Arlan dengan penuh penekanan, berharap Syila mengerti maksud ucapannya.

Syila tiba-tiba merasa begitu terintimidasi. Tidak, pandapat mereka tak lagi sama dan akan lebih baik jika percakapan ini dihentikan. Syila melepas tangan Arlan dari pundaknya dan berdiri. "Nggak bisa secepet itu Lan, lo nggak ngerasain gimana ada di posisi gue." Bantah Syila seraya menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuk. Nadanya bicara terdengar lebih tinggi dibandingkan tadi.

Arlan ikut bangkit dari kursi. "Gue tahu, maksud gue supaya nggak terlambat buat lo..."

"Dia menyisihkan gue Lan, inget itu." Bibir Syila bergetar mengucapkannya dengan urat yang tegang di sepanjang leher. Tangannya terulur buru-buru mengambil tas dan mulai melangkah. Lebih baik ia pergi sebelum emosinya kembali tersulut.

Arlan yang menyadari Syila beranjak dari posisinya bertindak menghalangi gadis itu. Tangan Arlan memegang kedua lengan Syila. "Dengerin gue du.."

"Lepas." Desis Syila menatap Arlan tajam. Tangan Arlan dihempaskan kasar agar terlepas dari kedua lengannya. Ia kira bercerita akan membuatnya merasa lebih baik, ternyata tak semua sepemikiran dengannya.

Syila melangkah cepat menjauh dari Arlan, namun ia dapat merasakan Arlan masih berusaha mengikutinya di belakang.

"Jangan ngikutin gue." Ucap Syila sebelum membalikkan badannya. "Gue mau sendiri." Tegasnya.

Di hadapannya Arlan berusaha mendekat, tapi setiap satu langkah ke depan Syila imbangi dengan satu langkah ke belakang.

"Di luar sana bahaya buat lo sendiri." Ucap Arlan khawatir. Sial, ia benar-benar menyesal sekarang. Harusnya ia tak membiarkan mulutnya ini berbicara sefrontal itu. Bukannya menghibur ia justru membangkitkan kemarahan Syila.

Syila terus berjalan menjauh. "Gue bisa jaga diri sendiri." Tekannya dengan wajah datar. Tepat di pinggir jalan Syila menemukan taksi yang tengah berhenti sejenak. Langsung saja Syila mengetuk jendela dan meminta supir taksi tersebut untuk membukakannya pintu.

Arlan yang melihat Syila hendak menaiki sebuah taksi berlari berusaha menghentikkan. Bagaimanapun untuk menjamin Syila aman, Arlan sendirilah yang harus membawanya pulang.

"Berhenti disana." Syila menunjuk posisi Arlan saat ini. "Bentar lagi hujan, cepet pulang." Ucap Syila memperingati.

Kalimat tersebut berhasil membuat Arlan menengadahkan kepalanya ke atas dan benar saja langit begitu gelap. Ketika Arlan kembali menatap ke depan, taksi tersebut sudah mulai jalan dengan Syila di dalamnya.

"Arghhh..." Arlan mengacak rambutnya frustasi. Kenapa harus hujan yang menjadi kelemahannya muncul di momen ini juga. Tidak, bagaimanapun juga Arlan harus mengejar Syila.

Kakinya segera ia langkahkan menuju motor. Dengan gerakan cepat, motor Arlan sudah berada di tengah-tengah kendaraan lain yang meramaikan jalan. Di balik helm full facenya terdapat wajah penuh kekesalan sekaligus penyesalan.

"Sialan lo Lan."

Updatee...
Gimana part ini? Sekesal apa kalian sama Arlan?
Udah selesai baca, jangan lupa tinggalkan bintang ⭐
Nggak jadi double up ya hehehe
Soalnya part selanjutnya belum kerasa pas jadi ditunda dulu :)
Tunggu aja buat selanjutnya 😊
Dada.....🖐🖐

Romansa Remaja Satu Atap (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang