Yuk jangan jadi silent readers ;)
1 vote kamu berarti sejuta bagi penulis❤"Makasi ya Arlan udah nganterin tante sama Syila." Ucap Tante Sally alias Ibu Syila begitu turun dari mobil Arlan yang membawa mereka menuju sebuah restoran. Tidak lain adalah tempat Syila dan ibunya bertemu dengan sang ayah, sesuai perkatannya kemarin hari.
Arlan dengan cepat mengangguk dan tersenyum. "Sama-sama tante."
Syila yang berdiri di tengah tersenyum senang melihat interaksi hangat ibunya dengan Arlan. Nyatanya laki-laki itu benar menepati pendiriannya. Sejak pagi pertama berjumpa dengan ibunya, Arlan senantiasi bersikap sopan dan hormat.
"Gue sama ibu masuk dulu ya, lo pulang aja, nggak papa." Kata Syila menghadap Arlan. Ibunya juga setuju di samping, tidak enak jika meminta bantuan Arlan juga untuk menjemput. Lagipula sekarang teknologi begitu canggih, mudah bagi mereka untuk memesan mobil online.
"Oke." Balas Arlan dibarengi dengan gerakan tangan menyatukan jempol dan telunjuk.
Syila dan ibunya mulai berjalan mendekati pintu masuk restoran. Namun baru dua langkah, tangan Syila ditarik ke belakang dan tubuhnya dibawa masuk ke dalam dekapan, siapa lagi jika bukan ulah Arlan.
"Awas ketahuan ibu." Kata Syila memperingati.
"Nggak papa, paling disuruh nikahin."
"Eh ngomongnya asal."
Arlan mengeratkan lengannya yang melingkari tubuh Syila. "Kalo ada apa-apa bilang ke gue, oke?" Tanya Arlan lalu melepas dekapannya.
Syila mengangguk pasrah. "Oke." Jawabnya seraya berharap semoga memang tak akan ada sesuatu yang buruk terjadi.
Setelah itu Syila mengambil langkah cepat kembali mensejajarkan posisinya dengan sang ibu. Arlan sialan itu, semoga saja ibunya tak menyadari hal yang mereka lakukan tadi.
Begitu pintu restoran terbuka, baik Syila dan ibunya mengencangkan pandangan mencari meja mereka. Pojok kiri terlihat Erga dan papanya alias ayah Syila bangkit dari duduknya dengan senyuman ramah. Baru saja ingin melangkah, telapak tangannya diambil oleh sang ibu dan dipegang erat. Hal itu dengan jelas menunjukkan bahwa ibunya tak begitu siap dan tengah dilanda rasa gugup.
"Pagi Sally, Syila. Ayo duduk." Ajak ayahnya dengan hangat. Sejak melihat kedatangan mereka tadi, tak sedetikpun senyumnya meluntur.
Syila mengangguk kecil, ia bahkan tak berani menatap Erga yang duduk di seberangnya. "Pagi."
Satu persatu mulai menyapa termasuk Erga mengucapkan salam pada ibunya. Kemudian sang ayah mulai memanggil waitress dan meminta mereka untuk memesan makanan juga minuman. Setelah waitress pergi dengan orderan tertulis, ayahnya mulai menegakkan posisi duduk dan menatap Syila serta ibunya lekat-lekat.
"Apa kabar Sally?" Tanya sang ayah.
Ibunya terlihat belum cukup santai dengan apa yang terjadi saat ini. Tentu saja, ia tak melihat wajah laki-laki ini selama bertahun-tahun. "Baik." Jawab ibunya singkat.
Ayahnya terlihat mengambil nafas dalam dan mengeluarkannya perlahan. "Saya minta maaf Sally, kesalahan saya sangat fatal dan saya benar-benar menyesalinya."
"Saya su.."
"Tolong maafin papa tante, salah saya papa ngelakuin itu ke kalian." Sela Erga seraya menatap Tante Sally begitu memohon. Matanya benar-benar menunjukkan rasa bersalah.
Ibu Syila tersenyum kecil seraya mengarahkan pandangan menuju Erga. "Anak sama sekali enggak salah disini, tante tidak pernah membenci kamu. Tante seneng kamu lahir dengan sehat dan tampan." Balasnya lembut. Ia benar-benar ingin menyelesaikan semua masalah di masa lalu dengan damai. Tak sedikitpun dalam hidupnya ada keinginan untuk mendendam begitu lama, rasanya terlalu menyesakkan.
"Makasi tante. Makasi juga tante bisa bertahan dan membesarkan Syila dengan hebat. Dia salah satu teman terbaik yang pernah saya temui." Jelas Erga berakhir menghadap gadis yang mendudukkan diri bersebrangan dengan dirinya.
Syila mulai berani mengangkat wajahnya ke depan begitu mendengar kata teman keluar dari mulut Erga. Ia tersenyum kecil menyadari laki-laki itu perlahan merelakannya dengan tulus. Setidaknya ini awal mula yang baik bagi mereka agar perlahan bisa menerima status suadara.
"Kamu Erlangga, saya sudah mamaafkan semua kesalahan kamu. Awalnya memang sulit, tapi saya sudah terlalu lelah menjalani hidup penuh kebencian. Tolong jalani hidup kamu dan keluarga dengan baik, di masalah ini tidak boleh sampai dua keluarga hancur." Tukas Ibu Syila menatap lurus ke arah mantan suaminya. Hatinya di dalam sudah cukup tabah untuk mengeluarkan kata-kata yang selama ini mengelilingi otak.
Sang ayah terlihat menggelengkan kepala. "Tolong kasi saya kesempatan untuk menebus semua kesalahan saya. Biarkan saya menanggung semua biaya kuliah Syila." Pinta ayahnya memelas.
Syila hanya diam, ia memalingkan wajahnya ke samping melihat reaksi sang ibu. Perkataan dan raut ayahnya membuat Syila mulai melunakkan hatinya.
"Tidak perlu, saya bisa menafkahi putri saya sendiri." Tolak ibunya halus. Ia bekerja keras untuk siapa lagi jika bukan putri semata wayangnya. Sejak ditinggalkan hidupnya sebagian besar ia dedikasikan untuk mendidik dan menghidupkan Syila.
"Tolong Sally, kali ini saja." Mohon ayahnya hingga menyatukan kedua telapak tangan.
Syila yang melihat itu sontak menggapai tangan ibunya di bawah meja. Ia tahu sopan santun untuk tak membiarkan orang yang lebih tua memohon hingga seperti itu. Tentu saja ajaran tersebut ia dapat dari sang ibu.
Tante Sally akhirnya mengangguk setelah berfikir sesaat. "Baik, saya biarkan kamu membiayai kuliah Syila, terimakasih untuk itu." Tukasnya setuju hingga membuat laki-laki di depannya tersenyum senang seketika. Ya setidaknya ia membiarkan Erlangga menjadi ayah yang baik bagi Syila. Dan sejak awal itu memang bagian dari kewajibannya.
Seorang pelayan datang menghentikan percakapan mereka. Satu persatu piring dan gelas disajikan di atas meja. Setelah semua pesanan lengkap, mereka mulai melahap makanan masing-masing dengan tenang.
"Syila." Panggil sang ayah.
"Iya?"
"Kamu masih suka melukis?" Tanya ayahnya seraya meletakkan sendok dan garpu di piring. Sejak tadi ia tak bercakap banyak dengan sang anak.
Syila menggigit bibir bagian dalamnya. "Masih."
Ayahnya tiba-tiba tersenyum lebar. "Ayah punya galeri lukisan dan ayah mau kamu nantinya bisa nerusin itu. Galeri itu bisa kamu gunakan kalo kamu punya acara seni atau apapun dengan segala akses tanpa izin." Tukas ayahnya berbinar-binar. Ia tak menyangka putri kecilnya yang dulu sering menganggu kegiatan melukisnya sekarang mengaliri darah seni yang ia punya. Sungguh sesuatu yang sangat membanggakan.
"Akan Syila pikirkan." Balasnya seraya tersenyum kecil. Bagi seorang seniman tawaran seperti tadi sesungguhnya sangat menggiurkan. Ia pernah bermimpi bisa memiliki galeri seni dan mengelolanya dengan baik.
Tiga puluh menit berlalu dan mereka menyelesaikan santapan begitu juga minuman. Bill di atas meja dibayar penuh oleh sang ayah tanpa tolakan.
"Kalo gitu, saya dan Syila pamit. Terimakasih untuk makanannya." Kata Tante Sally seraya bangkit dari duduknya dan mengambil tas di kursi. Ia tersenyum singkat ke arah Erlanga begitu juga Erga dan melangkah berbalik arah.
"Tunggu." Interupsi Erlangga menghentikan langkah putrinya dan Sally.
"Syila, kamu udah maafin ayah kan?" Tanyanya mendekat menatap Syila lekat-lekat.
Tante Sally memandang lurus mata Syila mengisyaratkannnya untuk menjawab sesuai kata hati. Ayahnya terlihat begitu menanti jawaban positif.
Syila mengangkat kedua sudut bibirnya. "Syila udah maafin ayah."
Another late nigh update...
Gimana part ini? Heartwarming?
Semoga kalian suka yaa❤
Jangan lupa tinggalkan vote ⭐
Ada pertanyaan, berhubung kita udah melewati 100k views, mau nanya dong..
Kalo bikin grup chat kalian prefer di app apa??
See ya di part selanjutnya
Have a nice dream each of you :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Romansa Remaja Satu Atap (END)
Teen FictionBagaimana ketika Syila ditemukan takdir bahwa ia harus tinggal satu atap dengan seorang laki-laki yang ternyata juga most wanted di sekolah baru nya nanti. Jika kalian berpikir karena hamil? Tenang, bukan itu alasannya. Alasannya sederhana yang memb...