.2. Sedekat itu

799 83 0
                                    

Rasa sakit yang paling sakit itu bukan patah hati, tapi kesepian dan selalu merasa tidak punya pegangan.

💮💮💮

Mikaela menggerutu begitu mendapati Delan yang melewatinya. Laki-laki itu benar-benar pulang bersama Naura, bahkan terlihat acuh dan seperti tidak mengenalnya. Bisa-bisa perkiraan Mikaela benar terjadi, Delan akan segera meninggalkan dirinya.

Mikaela mencoba tenang. Tarik napas sebentar, buang, tarik lagi, buang, kemudian tersenyum lebar. Kakinya kembali melangkah menuju gerbang sekolah. Dia jelas berusaha membuang pikiran-pikiran negatif miliknya.

Lagi pula, nggak mungkin banget kalau Delan akan meninggalkan dirinya. Delan ... tahu kok kalau Mikaela cuma punya Delan sebagai sandaran. Jadi, nggak mungkin 'kan kalau Delan pergi?

"Neng Mikaela?" Gadis itu mendongak menatap abang ojol berbaju hijau. Matanya menyipit berusaha mengingat-ingat karena rasanya Mikaela belum sempat memesan ojek untuk pulang.

"Iya, tapi ... saya belum pesan ojek, Bang?"

Abang ojol itu mengernyit, tangannya segera mengotak-atik ponselnya. Kemudian ditunjukan ke wajah Mikaela. "Ini bener kok, Neng, wajahnya juga mirip sama yang di foto."

Mikaela memajukan wajahnya, mengamati dengan jelas percakapan abang ojol dengan pelanggannya.

Delan.

Ternyata laki-laki itu yang memesankan ojol untuk dirinya.

"Pacarnya yang nyuruh, 'kan, Neng?"

Gadis itu kembali berdiri tegak, menggelengkan kepala sebagai jawaban. "Bukan, tapi nggak papa deh. Udah dibayar, ya, Bang?"

"Iya, udah."

Baiklah, Mikaela anggap ini sebagai bentuk pertanggungjawaban dari Delan karena tidak bisa pulang bersamanya. Meski nyatanya rasa tidak  mengenakkan masih bercokol di hati Mikaela.

💮💮💮

Mikaela menatap pintu rumahnya dengan gelisah. Suara gaduh yang berasal dari dalam membuatnya enggan melangkah lebih dekat. Dia tidak menyukai ini. Tanpa melihat pun Mikaela sudah hafal dengan sesuatu yang terjadi di dalam sana. Harusnya, dia tidak pulang sendiri, sehingga tidak perlu berada di posisi seperti sekarang. Harusnya, tadi Mikaela mampir dulu jangan langsung pulang begini.

Gadis itu menunduk, memainkan ujung sepatunya di konblok depan teras rumahnya. Dia tidak berani masuk, namun untuk pergi dari sana pun tidak bisa. Rasa khawatirnya menahan diri Mikaela untuk tetap berada di sana.

"Saya bilang jangan sampai ada yang tahu!"

Brak. "Saya juga sudah berusaha menutupi semua! Bahkan cafe itu saya sewa hanya untuk saya!"

"Tapi publik sudah mengendus kejanggalan itu! Sialan!"

Plak. Prang.

Tangan Mikaela berpindah dari menggenggam erat tali tasnya menjadi menutup rapat telinganya. Gadis itu memejamkan mata, berharap semuanya segera berakhir. Dia bosan dengan masalah yang selalu saja mereka ributkan.

Brak. Suara pintu terbanting membuatnya membuka mata, dilihatnya sosok laki-laki diusia empat puluh tahunan keluar dari rumahnya. Mata mereka sempat bertemu sebelum akhirnya Mikaela memilih menunduk.

Starting from A Broken Heart [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang