Kalau boleh milih, gue nggak mau punya keluarga sehancur ini.
💮💮💮
Pagi ini media massa dihebohkan dengan berita ditemukannya mayat anak laki-laki sekolah menengah atas yang hanyut di sungai. Tubuhnya membiru dengan luka sayat di beberapa bagian badannya. Warga di sekitar sungai juga heboh atas penemuan mayat ini, terlebih mayat ditemukan tersangkut di antara ranting pohon yang tidak bisa hanyut.
Mulai dari berita di televisi, media sosial, bahkan koran, berisi kasus mayat yang diduga dibunuh secara sengaja ini.
Identitasnya sulit ditemukan, wajah mayat itu penuh lebam dan luka hingga sulit dikenali. Hal yang lebih menyulitkan adalah dugaan siswa itu masih di bawah 17 tahun, yang artinya anak itu belum memiliki kartu tanda penduduk. Dan juga, seluruh kantor polisi tidak ada yang menerima laporan anak hilang. Jadilah, tidak ada satupun petunjuk yang bisa polisi gunakan untuk menangani kasus anak ini.
Mikaela yang mengetahui berita itu hanya bisa meringis ngilu. Pikirannya melayang, berandai jika dirinya tidak selamat dari penculikan kemarin. Pasti mayatnya akan akan masuk ke berita dan heboh seperti itu.
"Makan, Sayang." Januar masuk, membawakan semangkuk bubur dengan beberapa buah dan teh hangat di atas nampannya.
Ya, sikap papa-nya selama beberapa hari ini cukup membaik. Januar bahkan sangat lembut memperlakukan Mikaela. Tidak ada pemaksaan, kalimat kasar, atau tindakan menyakitkan seperti biasanya.
Mikaela sendiri cukup senang dengan keadaan ini. Dia sedikit ringan tentang masalah bersama papa-nya yang otoriter dan sangat keras itu.
"Papa suapin, ya?"
Mikaela mengangguk kecil. Gadis itu tersenyum tipis saat Januar duduk di sebelah ranjangnya, setelah meletakan nampab di atas nakas.
"Lukanya gimana?" tanya Januar begitu lembut, tangannya menyuapkan sesendok bubur ke mulut Mikaela.
"Mendingan, jauh lebih baik dari tiga hari lalu," jawab gadis itu riang.
"Papa harap, kamu cepat sembuh."
"Mikaela juga berharap seperti itu."
Januar mengaduk buburnya, diam sebentar mencari kata yang tepat untuk mengungkapkan sesuatu kepada putrinya. Ya, ayah satu anak itu tampak kebingungan ingin membuka topik obrolan serius kali ini.
"Papa, kenapa diem?"
Januar pun tersadar. "Papa hanya sedang berpikir."
"Apa itu?"
"Soal Delan."
Mendengar nama laki-laki itu, senyum yang tadinya menghiasi wajah Mikaela menjadi luntur.
"Kenapa?"
Tampak tidak yakin saat Januar akan mengutarakan apa yang dia pikirkan. Namun, untuk kebaikan putri kecilnya,, Januar akhirnya memberanikan diri. "Papa hanya penasaran, apakah kamu masih mencintai dia?"
💮💮💮
"Tidak."
Naura tampak mengenaskan. Gadis itu meringkuk ketakutan di ujung ranjang dengan kaki ditekuk dan dipeluk erat. Wajahnya pucat pasi, rambutnya berantakan, dan seluruh badannya bergetar hebat. Tangis mengiringi setiap kata yang terucap dari bibirnya. Hanya gumaman, namun terdengar menyayat karena ketakutan yang dialaminya jelas mengerikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Starting from A Broken Heart [End]
Teen FictionDimohon dengan sangat untuk follow akun ini terlebih dahulu💛 Kenapa? Karena kalau up cerita biar ga ketinggalan dan juga demi kebaikan bersama. 16+ Di bawah itu jangan baca ya 😂 . . . Mikaela dan Delan, siapa yang tidak mengenal mereka? Bak putri...