Bukan kekanakan, lebih tepatnya takut kehilangan.
💮💮💮
"Mikaela!" Delan yang berdiri jauh di hadapannya berlari mendekati dirinya. Raut wajah Delan tampak khawatir dan juga panik.
Mikaela tidak ingin berpikir kasihan kepada Delan hanya karena raut wajah laki-laki itu. Namun, dia juga tidak ingin terlihat tidak suka dan marah karena Delan mengantarkan Naura kemarin.
"Lo kok nggak ke apart kemarin? Nggak nunggu gue juga. Gue panik nyariin tauk! Chat nggak dibales, telpon sama vc juga nggak diangkat!"
Oh, Mikaela kira Delan akan meminta maaf, tapi ternyata malah ngomel dan terkesan marah. Mikaela tidak suka ini. Delan tidak peka kalau dirinya itu marah karena sikap laki-laki itu!
"Lo marah?" Delan membungkukkan badan hingga kini wajah Delan sejajar dengan wajahnya.
"Gue cuma nggak suka," jawab Mikaela jujur. Ya ... dipikir-pikir daripada dongkol sendirian, lebih baik dilampiaskan bukan? Jujur dan kemudian marah-marah itu sudah menjadi satu hal yang biasa bagi dirinya dan Delan.
Delan tampak membasahi bibirnya. "Kenapa nggak suka? Gue cuma beneran anterin Naura abis itu balik mau anterin lo."
"Ya lo pikir gue suka disuruh nunggu?!" Mikaela kelepasan menaikan nada bicaranya. Kesalahan yang sepertinya baru dia buat karena Delan kini kembali menegakkan badannya. Kedua tangan laki-laki itu bertengger di pinggang.
"Ini darurat, gue udah bilang Naura diikutin orang itu, Mikaela." Nadanya masih berusaha tenang dan rendah, tidak ikut meledak seperti dirinya.
"Ya tapi harus gitu dia lo anterin? Kakaknya bisa, atau suruh aja temen lo!"
"Mikaela, pliss jangan gini... gue tahu lo cemburu, tapi ini beneran darurat, kepepet, jadi gue nggak bisa nolak."
"Lo prioritasin dia daripada gue kalau gini, De!"
Ya, Delan seperti lebih memprioritaskan Naura. Delan memilih mengantarkan Naura dulu dan meninggalkan dirinya. Membiarkan dirinya menunggu bersama satpam sekolah mereka.
Delan memegang bahunya, laki-laki itu menatapnya lembut. "Mikaela, jangan kekanakan bisa? Gue minta maaf buat kejadian kemarin, ya?"
Mikaela belum ingin berdamai. Hatinya belum tenang entah itu soal orang tuanya atau soal Delan dan Naura. Yang jelas, Mikaela ingin sekali marah, berteriak sekencang mungkin jika dia sedang tidak baik-baik saja. Sayangnya, dia tidak ingin mengatakan itu di depan Delan.
"Gue nggak kekanakan, cuma nggak suka."
"Ya udah, jangan diperpanjang ya?"
"Gue bahkan nggak niat bahas ini sama lo, De."
💮💮💮
Menghabiskan waktu luang alias jam kosong dengan menyembunyikan kepalanya di lipatan tangan adalah sesuatu yang membosankan. Ingin ke kantin, tapi malas karena anak kelasnya pasti ke sana. Ingin ke perpustakaan, tapi dari info seorang teman sekelasnya, perpustakaan sedang digunakan anak kelas 11 IPS 1. Jadilah, Mikaela memilih di kelas, menikmati sepi bersama perasaan tidak karuan miliknya.
Apakah orang tuanya benar-benar akan bercerai? Pertanyaan itu tiba-tiba terlintas di kepalanya. Selama ini cek-cok terus terjadi, mama-nya juga sering mengucap cerai. Namun, papa-nya tidak pernah setuju, hanya akan menolak dan berbuat kasar. Dan ... kemarin, papa-nya mengiyakan, menyetujuinya.
"La, kantin, yuk!"
Mikaela mengangkat kepalanya, menatap Rose yang duduk di tempat Daga dan menatapnya dengan senyum lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Starting from A Broken Heart [End]
Teen FictionDimohon dengan sangat untuk follow akun ini terlebih dahulu💛 Kenapa? Karena kalau up cerita biar ga ketinggalan dan juga demi kebaikan bersama. 16+ Di bawah itu jangan baca ya 😂 . . . Mikaela dan Delan, siapa yang tidak mengenal mereka? Bak putri...