Udah coba berbagai cara buat lupa, tapi hasilnya masih gagal juga.
💮💮💮
Manusia selalu membutuhkan manusia lain, itu adalah kalimat yang orang sering ucapkan. Memang benar adanya, tapi bagi Mikaela tidak semua orang dibutuhkan oleh orang lain. Dia lebih senang sedikit saja orang disekitarnya, tapi mereka benar-benar peduli padanya. Bukan yang banyak orang, tapi waktu dibutuhkan tidak ada yang peduli.
Terlalu biasa. Bahkan dulu saat dirinya belum bertemu Delan, teman-temannya hanya mendekat untuk sekadar suka, tanpa mau berbagi duka. Dan sekarang bersama Delan, dia merasa suka dan duka itu dilalui bersama.
Berat pastinya, apalagi dia tidak bisa memantau Delan. Delan hanya mengunakan WhatsApp, tidak ada Instagram, Tiktok, ataupun Twitter. Laki-laki itu selalu menolak jika Mikaela menyuruhnya memasang itu.
Mikaela merapatkan selimutnya, matanya menatap kosong bada bayangan diri yang terpantul dari cermin di lemarinya. Menyedihkan, gadis yang dikelilingi kemewahan itu terlihat menderita, kesepian, dan kosong.
"Mikaela, Papa mau bicara."
Gadis itu menoleh, menatap pintu yang sudah terbuka sedikit. Napasnya berembus berat begitu sosok laki-laki muncul di hadapannya.
"Ada apa, Pa?"
Januar mendekat, berhenti begitu sampai di ujung ranjang Mikaela. Wajahnya tersenyum, senyum seorang ayah yang harusnya menenangkan putrinya. Namun, nyatanya Mikaela tidak tenang. Seolah di senyum Januar ada sesuatu yang akan terjadi, sesuatu yang buruk pastinya.
"Papa konsultasikan nilai kamu ke salah satu universitas di Singapore."
Betul bukan? Mikaela harus tersenyum pedih mendengar berita ini. Singapore? Terlalu jauh untuk dirinya kuliah di sana. Terlalu jauh dari Delan dan hanya akan membuatnya semakin tersiksa.
"Apa nggak ada pertimbangan lain, Pa?" tanya Mikaela berusaha mencari alasan agar tidak perlu dia pergi ke Singapore untuk menempuh pendidikan.
"Ada," jawab Januar. "Papa juga kirim nilai kamu ke universitas di Korea. Kamu mau yang mana?"
"Indonesia?"
Wajah Januar seketika mengeras. "Tidak ada. Saya mau kamu ikuti apa yang saya mau, Mikaela."
"Pa, Mikaela nggak mau jauh-jauh."
"Papa udah ngalah waktu kamu mau sekolah di sekolah jelek itu, Mikaela. Sekarang giliran kamu ikuti mau saya!"
Tubuh Mikaela melemas seketika. Begitu Januar meninggalkan kamarnya, Mikaela terisak.
💮💮💮
Delan merebahkan dirinya setelah seharian dia berada di rumah Clao. Rasa sepi seolah menyeruak, tidak adanya kehadiran Mikaela kali ini benar-benar menghadirkan sesuatu yang aneh. Padahal Delan sudah berusaha untuk menganggap Mikaela sedang pulang seperti biasa. Tidak ada nomornya yang terblokir, tidak ada salah paham jika dirinya bersama Naura, dan besok akan baik-baik saja.
Sialnya, Delan tidak bisa. Hatinya gagal untuk diajak kerja sama. Entah kenapa Delan merasa dirinya lemah.
Posisi telentang Dekan pun berubah menjadi miring ke kanan. Tangan kanannya menekuk dan dijadikan bantal, sedangkan matanya menatap lekat gorden kamarnya yang tertutup rapat.
"Sial, Mikae, lo berhasil bikin gue khawatir."
Tangan kiri Delan kemudian meraih ponselnya di saku celana. Dia membuka aplikasi satu-satunya yang dia gunakan untuk berkomunikasi. Kondisinya masih sama, seluruh pesan penjelasan yang dikirimnya hanya berakhir ceklis satu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Starting from A Broken Heart [End]
Teen FictionDimohon dengan sangat untuk follow akun ini terlebih dahulu💛 Kenapa? Karena kalau up cerita biar ga ketinggalan dan juga demi kebaikan bersama. 16+ Di bawah itu jangan baca ya 😂 . . . Mikaela dan Delan, siapa yang tidak mengenal mereka? Bak putri...