.22. Luka

491 55 2
                                    

Sebelumnya sudah pernah coba dan gagal, sekarang berusaha mencoba lagi dan semoga tidak gagal.

💮💮💮

Rasanya Mikaela ingin menangis sekarang juga, meski suasana tempat tambal ban yang ramai. Dia tidak sanggup menatap Delan yang tiba-tiba muncul di depannya dengan pakaian serba hitam miliknya. Badan laki-laki itu memang masih utuh, tapi jaket kulitnya tampak terkoyak di sebelah lengan kiri. Mikaela pastikan, di lengannya ada luka yang cukup dalam dan Mikaela juga yakin di bagian tubuh lain pasti ada luka walaupun kecil.

Clao yang tadinya menemani Mikaela sekarang memilih sedikit menjauh. Seolah dia menjaga jarak dan memberi waktu untuk Delan dan Mikaela. Dia sepertinya sadar jika kedua anak manusia ini terlalu sulit untuk dipisahkan.

"Pulang?" Suara serak milik Mikaela menciptakan senyum kecil di bibir Delan.

"Bisa? Motor lo?"

Mikaela berbalik, menatap abang tambal ban yang masih memasang bannya. Kemudian dia juga menatap Clao yang kini asik merokok di sana. Eh, Clao pecandu nikotin?

"Duluan aja pake motor gue, ini biar gue bawa," jawab Clao santai.

Delan mengangguk, menerima lemparan kunci dari Clao dan menarik Mikaela untuk ikut dengannya. Selama bertugas, Delan memang tidak pernah naik motor, dia pasti akan naik kendaraan umum agar lebih aman.

Clao mengepulkan kembali asap rokoknya, menatap kepergian Mikaela dan Delan dalam diam. Dia sadar bahwa sikap Mikaela membuatnya mudah jatuh, namun dia juga sadar bahwa jatuh kepada gadis itu hanya akan menimbulkan luka. Posisi Delan terlalu kuat, Clao akan kalah dalam hal apa pun.

💮💮💮

"Sst, perih."

"Luka lo beneran parah. Kita ke rumah sakit aja gimana?"

"Nggak usah, lo jahit kaya biasanya aja nggak papa."

Mikaela menatap tidak setuju. Hal yang selalu dia lakukan setelah Delan mendapat luka yang cukup dalam adalah menjahit lukanya. Dia butuh kerja ekstra bahkan sempat ikut seminar demi tahu cara menjahit luka yang baik dan benar. Namun, tetap saja, meski jahitannya rapi, dia tetap lebih tenang kalau Delan ditangani tenaga medis.

"Nggak usah nangis." Delan mengusap sudut mata Mikaela dengan lembut. "Udah biasa, masa lo selalu nangis tiap gue begini?"

"Gue nggak tega, De. Emang lo beneran nggak bisa berhenti?"

Bukannya menjawab, Delan justru mengusap lembut pipi Mikaela. Mungkin dia memang bisa berhenti, namun syarat yang dia berikan terlalu berat. Teror kemarin saja sudah sedikit mereda karena dia mau menuruti perintahnya. Kalau dia harus keluar, maka dia juga harus menjauh dari Mikaela.

"De, lo beneran nggak bisa?"

"Nggak bisa, gue harus bertaruh nyawa kalau gue mau keluar."

Mikaela menunduk, membereskan alat-alatnya dalam diam. Mungkin dia kecewa dengan Delan, tapi dia juga tidak bisa memaksa. Mereka masih sama-sama kecil, Delan mengerjakan itu untuk melanjutkan hidup. Berbeda dengan Mikaela yang sudah terjamin, dia tidak perlu bekerja. Hanya saja, dia juga tidak bisa meminta lebih untuk Delan.

Starting from A Broken Heart [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang