Pagi ini Dara melakukan dua hal sekaligus. Pertama dia akan lari pagi untuk memenuhi kebutuhan olahraga untuk tubuhnya, kedua Dara akan langsung terus ke pasar atau mini market untuk membeli bahan-bahan yang dibutuhkan rumah maupun kafenya.
Rencananya, Dara akan berlari berkeliling jalanan yang menjadi lintasan sepedanya, lalu langsung berjalan ke pinggir jalan raya untuk menjaga taksi.
"Kamu bawa keranjang, tapi kenapa berpakaian seperti mau lari pagi?" selidik Davina yang memergoki Dara keluar dari kamarnya seraya membawa keranjang dan juga menenteng sepatu kets.
Dara hanya nyengir melihat perempuan tua itu pagi-pagi sudah mengomentarinya. Terkadang Dara berpikir, jika belum menjadi publik figur saja dirinya sudah menjadi sorotan, bagaimana jika dia menjadi publik figur?
"Nek..." Dara menarik tangan Davina ke meja makan, mendudukan neneknya dikursi. "Dara mau lari pagi, sekalian ke pasar. Jadi gak dua kali pulang ke rumah, dan juga hemat waktu." jelas Dara.
Seperti biasa, Davina hanya bisa geleng-geleng kepala tanpa mengatakan apapun. Dara memang orang yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi, tidak mudah terpengaruh dengan pendapat orang lain, meski itu neneknya sendiri.
"Gak masalah kok untuk Dara. Celana karet membuat langkah menjadi nyaman, dan jaket tebal ini melindungi diri dari hawa dingin, sekaligus terik matahari menjelang siang nanti." kata Dara lagi memberikan pengertian kenapa dirinya berpakaian seperti itu.
"Ya sudah. Kamu hati-hati. Larinya pelan-pelan aja yaa nak..." pesan Davina seraya berdiri untuk mengantar Dara hingga halaman kafe.
Sampai diluar, Dara langsung mengenakan sepatu kets sambil mengikat rambutnya dengan karet gelang. Dara memang sembarangan ketika mengikat rambut, itulah kenapa dia lebih suka mengurai rambutnya.
"Dara berangkat yaa Nek..." pamit Dara seraya berdiri dan membawa keranjang belanjanya. Tadi malam, Davina sudah menyerahkan beberapa lembar uang ratusan untuk belanja pagi ini.
"Yaa... Hati-hati dijalan..." pesan Davina melepas kepergian Dara sambil melambai. Dijalanan sekitar rumahnya, Dara masih berjalan biasa. Entah kenapa, setiap lewat jalan yang biasa ia lalui itu, Dara pasti teringat laki-laki yang menabraknya sebanyak dua kali dalam sehari. Belum lagi perkataannya yang menyebut lantai tiga kantor majalah Elle, membuat Dara benar-benar penasaran, apa yang sudah takdir tulis sehingga semuanya tampak begitu kebetulan.
"Semoga hari ini dapat kabar dari pak Sanusi..." batin Dara mencoba mengalihkan pikirannya. Semuanya memang seperti kereta api, saling sambung menyambung dari satu kejadian ke peristiwa berikutnya. Roda hidup berputar dan berhenti hanya dengan sebuah pertemuan.
Terkadang kita bertemu dengan seseorang tanpa sengaja, namun diluar dugaan ternyata orang itu ternyata juga kenal dengan beberapa orang didekatnya kita. Dan begitulah seterusnya, hingga kita terus bertemu dan bertemu orang baru yang melingkari rotasi pertemuan kita. Hal seperti ini tidak akan berakhir kecuali jatah kehidupan kita yang sudah berakhir.
Tak terasa, Dara sudah berhasil mengitari lintasan sepeda dengan kedua kakinya. Sebelum berlalu ke jalan raya, Dara duduk sebentar dibangku bawah pohon sambil memandang rombongan pesepeda yang melintas disekitar itu.
Matahari lebih tinggi dari biasanya, mentang-mentang langsung lanjut ke pasar, Dara jadi berlari sambil melamunkan beberapa kejadian dalam hidupnya sejak turun dijalanan muka kafenya tadi.
"Stop mikir yang macam-macam dan fokus pada tujuan selanjutnya." batin Dara segera berdiri lalu menggerakan tangan, kaki, dan beberapa bagian tubuhnya. Setelah itu, dia langsung bergegas menuju jalan raya untuk menghentikan taksi yang akan membawanya ke tempat belanja biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewa Untuk Dara [✔]
FanfictionDara selalu percaya pada hukum alam tentang makna pertemuan pertama, kedua, hingga ketiga dengan orang yang sama. Ia percaya, setelah itu akan ada pertemuan berlanjut hingga tidak tahu bagaimana akhirnya. Pertemuannya dengan Dewa, Pimred tampan dan...