41. First Planning

623 80 4
                                    

PEMIKIRANNYA ini memang bisa dibilang sedikit gila. Mempercepat peresmian hubungan yang artinya mereka harus segera menikah. Dara belum mengutarakan apa yang ada di benaknya itu pada Dewa. Pagi itu, saat ia bertemu Dewa, bibirnya bahkan terlalu malu mengungkapkan yang sebenarnya ingin ia katakan.

Durasi waktu yang kita habiskan bersama seseorang memang sangat berpengaruh dalam sebuah hubungan. Jika Dara malu mengungkapkan isi hatinya pada Dewa, kini ia duduk diteras belakang rumah bersama Davin dan bersiap menceritakan apa yang ia rasakan dan pikirkan.

"Tumben ngajak cerita-cerita gini."

Entah hanya sebuah pertanyaan atau mengandung unsur singgungan. Dara tertawa tipis sedikit tak nyaman mendengar celetukan Davin barusan.

"Aku nggak tahu cerita sama siapa lagi setelah nenek." Mulai Dara sambil memainkan gelas ditangannya.

"Pak Dewa?" Sahut teman kecilnya itu cepat.

"Ini tentang dia." Jawab Dara baru menoleh ke arah lawan bicara. "Menurut kamu, aku terlalu agresif nggak sih kalau ngajak Dewa mempercepat peresmian hubungan kami berdua. Yahhh, aku tahu masalah pasti terus datang. Cuma, setidaknya kami bisa lebih saling terbuka karena udah ada ikatan." Lanjut Dara langsung menanyakan inti dari pembicaraannya. Ia sudah berpikir ribuan kali malam tadi, keputusan terakhirnya, ia harus meminta pendapat teman kecilnya itu.

"Kamu mau nikah sama-"

Dara membuka lebar matanya sambil mengangguk mengiyakannya.

"Bukannya..."

Dara menepuk dahinya pelan, ia memang belum menceritakan soal rekaman telfon Dewa dan mantan tunangannya. Itu adalah bukti jelas dimana Dewa sama sekali bukan pria brengsek seperti yang mereka saksikan siang itu. "Aku lupa cerita. Jadi, Dewa siang itu dijebak sama seseorang. Aku udah tahu kok siapa orangnya."

"Dijebak? Kamu udah tahu siapa orangnya?" Respon Davin mendelik lebar. Ia terkejut rupanya. Wajahnya terlihat begitu penasaran.

Tentu saja ekspresi teman kecilnya itu membuat Dara sejenak tertawa sambil menunjuk-nunjuk wajah Davin yang dipenuhi aura kepo. "Ehmm... Kamu pasti nggak nyangka siapa orangnya." Ucap Dara disela-sela kekehnya.

"Aku serius Dar. Kamu kok malah ketawa sih. Siapa orangnya?"

"Kamu coba santai. Lucu tahu kalau kamu melotot, kaya mau keluar matanya." Oceh Dara masih tertawa. "Yang kemarin itu kerjaan Irene mantan tunangan Dewa. Aku juga bingung gimana dia ngelakuin semuanya. Tapi gampang aja sih sekarang, asal punya modal, apa aja bisa dilakuin." Jawab Dara sambil menghela nafas lega sudah berbagi hal yang memenuhi otaknya itu. Ia sudah berhenti tertawa dan kembali memasang wajah bingung dengan keputusan yang akan diambilnya. "Jadi gimana pendapat kamu Dav? Jangan malah bengong dong" Tanya Dara sambil menatap wajah Davin yang malah melamun setelah mendengar apa yang ia katakan soal Irene.

"Aku takut aja, Irene malah tambah nekat kalau kamu sama Pak Dewa semakin jauh menjalin hubungan ini." Kata Davin akhirnya dengan mimik wajah khawatir. Dara tersenyum tipis lalu meneguk minuman ditangannya.

"Awalnya aku juga mikir kaya gitu. Tapi kamu tahu aku kan, kalau hubungan aku sama Dewa ngambang gini, dan Irene masih ngelakuin hal-hal yang sama, aku sama Dewa nggak bakal bisa sama-sama. Bahkan kami akan semakin sulit menyelesaikan masalah itu. Kalau aku sama Dewa sudah resmi, kami bisa saling jaga, saling terbuka. Nggak kaya kemarin, aku salah paham sama dia." Jelas Dara panjang lebar. "Oh ya Dav. Kamu jangan panggil Dewa pakai Pak dong. Kan dia juga udah nggak jadi pimred di kantor. Aku dengernya lucu. Kaya tua banget jadinya." Oceh Dara tertawa sendiri. Sebenarnya sejak tadi ia ingin menyampaikan hal itu, namun baru detik ini terlaksana.

Dewa Untuk Dara [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang