Dara baru saja menghempaskan tubuhnya di sofa ketika terdengar suara seseorang mengetuk-ngetuk kaca kafe nya.
Dengan gerakan malas ia bangun dan berjalan untuk melihat siapa yang ada diluar sana. Senyumnya terbit saat sedikit buram matanya menangkap sosok Bu Della yang melongok ke dalam. Beberapa minggu ditutup, Dara memang belum sama sekali menyentuh dinding depan kafenya yang memang didominasi kaca.
Namun saat membuka pintu Dara sedikit histeris mendapati sosok lain dibelakang Bu Della. Dewa mendatanginya, apa yang harus ia lakukan sekarang. Ia bahkan belum meminta maaf pada laki-laki itu karena sudah menuduhnya sebagai pelaku atas kejadian yang terjadi.
"Masuk..." Ucap Dara setelah beberapa detik bertahan dalam kebingungan yang membuat menahan pintu. Segera ia buka pintu kafe selebar mungkin dan menjatuhkan pandangan pada objek lain selain Dewa.
Setelah membuat tiga gelas minuman dan mengeluarkan beberapa camilan, Dara menatap baki ditangannya sambil menghela nafas tak biasa.
Apa yang harus ia lakukan dan katakan?
Maaf? Apa semudah itu ia melakukannya setelah Dewa merasakan beberapa minggu mendekam dipenjara dengan alas tidur tikar tipis berayam yang dinginnya ubin pasti terasa.
"Apa nak Dara tidak berniat untuk membuka kafenya kembali? Sayang... Kan habis direnovasi, masa dianggurin gini. Almarhumah pasti sedih sekali jika saja saat ini beliau masih ada." Kata Bu Della membuka percakapan itu. Dara tersenyum tipis mendapati pertanyaan cukup berat itu.
"Saya belum tahu Bu. Saya sebenarnya-" Ucap Dara tertahan. Ia sendiri masih ragu dengan keputusannya untuk meninggalkan kafe dan kota ini.
"Ibu tahu kamu masih sedih dengan kepergian nenek kamu Nak Dara. Tapi bagaimanapun keadaannya sekarang, hidup harus terus berlanjut. Tidak peduli sama atau tidak dengan yang kemarin kita jalani. Mundur memang belum tentu seseorang kalah melawan jalur kehidupan, tapi jika ia mampu maju. Kenapa tidak melakukannya? Apalagi sekarang nak Dewa sudah bebas dan tidak terbukti bersalah. Kalian bisa mewujudkan kebahagiaan baru bersama-sama." Nasihat Bu Della panjang lalu meneguk teh manis yang Dara buatkan.
Semenit suasana hening sejenak, Dara hanya merespon nasihat Bu Della dengan anggukan kepala. Terlebih kalimat terakhir perempuan itu berhasil membuatnya dan Dewa tak sengaja bertatap mata.
"Nak Dara?"
"Yaa Bu?" Dara menoleh cepat.
"Apa kamu tidak ingin melanjutkan hubungan kalian. Tidak ada yang terlambat, kemarin hanya tertunda. Iya kan Nak Dewa?" Kali ini Bu Della tak hanya berbicara padanya, tapi juga pada Dewa yang sepertinya cukup terkejut juga.
Dara menelan liur berkali-kali, berusaha mencari kalimat yang tepat dan pendek untuk menimpali ucapan Bu Della. Namun sayangnya ucapan Dewa berhasil meruntuhkan segala kata yang tersusun diotaknya.
"Ayo kita mulai semuanya sama-sama Raa." Kata laki-laki itu duluan dengan nada penuh harapan. Dara mengangkat kepala menatap Dewa. Ia sedang tidak bermimpi, laki-laki itu benar-benar ada didepannya sekarang.
"Tapi semua sudah berubah Wa'. Aku bahkan nggak tahu harus gimana bersikap didepan kamu sekarang. Gara-gara kejadian yang nggak kamu lakukan kamu ngerasain ada dibalik sel penjara!"
"Tapi enggak sama perasaan kita kan?"
Dara menarik bola matanya menatap ke arah lain.
"Ayo kita mulai semuanya sama-sama Raa. Kita lanjutin kafe Davina sama-sama. Nggak perlu jadiin masa lalu beban untuk maju ke depan." Kata Dewa lagi.
"Kamu nggak takut kalau suatu saat aku ngelakuin hal yang sama? Aku bahkan nggak percaya dan nggak bisa belain kamu."
"Aku nggak akan takut selama perasaan kita masih sama Raa. Aku ngerti posisi kamu waktu itu. Nggak logis kalau kamu belain aku padahal saksi dan bukti ngarah ke aku semuanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewa Untuk Dara [✔]
FanfictionDara selalu percaya pada hukum alam tentang makna pertemuan pertama, kedua, hingga ketiga dengan orang yang sama. Ia percaya, setelah itu akan ada pertemuan berlanjut hingga tidak tahu bagaimana akhirnya. Pertemuannya dengan Dewa, Pimred tampan dan...