24. Dihinggapi Ragu

633 80 2
                                    

MENYESALI sesuatu yang sudah terlanjur terjadi kadang menjadi hal yang teramat bodoh bagi pelakunya. Berhari-hari meratapi sesuatu hal yang tidak akan mungkin kembali padamu itu begitu menyiksa. Sama seperti kertas yang terlanjur hancur disulut api, semenangis darah pun, itu hanyalah sisa abu yang beberapa detik akan tertiup angin dan hilang.

Seandainya... Kata yang selalu terngiang disaat kita menyesali sesuatu dan berharap itu tidak benar-benar terjadi dikehidupan nyata. Berharap waktu berbalik ke masa itu, dan kita bisa mengulang peristiwa itu dengan akal dan pikiran lebih dewasa seperti saat ini.

Dewa membuka pintu rahasia dibelakang lemari bukunya, sudah lama ia tidak membuka tempat itu. Terakhir yang ia ingat, tiga hari sebelum dirinya terbang ke New York ditemani Pak Dan. Dan alasan Andara memaksa mengirimnya ke negara Paman Sam itu, karena ingin ia menghilangkan trauma kecelakaan yang membuat Raline Haidar mamanya meninggal dunia.

Menggeser pintu perlahan, Dewa menarik nafas panjang saat matanya menatap ke dalam. Diumurnya yang sudah dua 27 tahun ini, rasanya itu masih menjadi ketakutan tersendiri yang membuat jantungnya akan berlari sangat cepat, juga sesak, tak terkendali sama sekali.

"Ketakutan itu nggak akan hilang kalau kamu nggak mau lawan. Coba deh kamu tarik nafas dalam, keluarin pelan, yakin nggak akan terjadi apa-apa. Terus kamu jalan, buka mata kamu lebar-lebar. Bayangin hal yang buat kamu senyum, jangan yang buat kamu sedih. Pasti kamu Bisa."

Memejamkan matanya pelan, Dewa mengikuti apa yang pernah dikatakan Dara padanya. Setelah nafas serta debaran didadanya berkurang dan mulai normal, Dewa membuka matanya menatap benda-benda yang tak mungkin ia lupakan. Melangkah perlahan sambil membayangkan masa-masa kecilnya yang penuh tawa.

"Seburuk apapun peristiwanya, kenangan itu ada buat disimpan terus dikenang. Kadang tanpa sadar, kita belajar ikhlas dari sana." nasihat Dara lagi-lagi hinggap menyemangatinya. Dewa mengelilingi ruangan itu dengan pandangannya, mencoba melepaskan hal-hal yang masih membuatnya merasa bersalah, sangat.

Kurang lebih enam tahun tak pernah dikunjunginya, Dewa menepuk-nepuk kursi yang sudah diselimuti debu dengan kemonceng yang tersedia didalamnya. Duduk, lalu terdiam menatap foto perempuan berambut lurus hitam yang sudah berselimut debu.

"Mas Dewa! Mas!"

Dewa tersadar saat suara Pak Dan terdengar memanggilnya dengan nada panik. Sepertinya laki-laki itu ada dikamarnya sekarang, suaranya begitu dekat.

Bergegas keluar, Dewa mendapati laki-laki itu benar-benar sedang dikamarnya dengan raut wajah sedikit berbeda. Belum bertanya ada apa, Pak Dan sudah bersuara duluan.

"Mbak Iren datang Mas. Lagi diluar gerbang, saya nggak tahu dia tahu darimana." lapornya yang membuat Dewa segera berlari ke arah jendela, menatap keluar pagar. Benar, perempuan dengan tampilan kasual itu berdiri disana dengan supir pribadinya.

Tanpa berkata apapun pada Pak Dan, Dewa langsung keluar kamar dan turun melalui teras lantai dua.

Tanpa berkata apapun pada Pak Dan, Dewa langsung keluar kamar dan turun melalui teras lantai dua

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dewa Untuk Dara [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang