27. Trust Of You?

634 90 4
                                    

Belief is like paper that is still smooth. once squeezed it won't come back to perfection

Percaya Padamu?: Kepercayaan itu ibarat kertas yang masih halus. Sekali diremas ia tidak akan kembali sempurna.

--- Dewa ---

Siapa yang sudah memberikan nomor telfonnya pada Irene? Sekeras apapun otaknya berputar, yang ia dapatkan hanyalah kemungkinan-kemungkinan yang belum tentu kebenarannya. Yang pasti Dewa sadari, orang itu ada disekitarnya saat ini. Namun entah siapa.

Belasan kali sudah perempuan tak diundang itu menerornya, baik melalui pesan panjang maupun panggilan telfon yang sengaja Dewa abaikan. Menggeser panel hijau yang kembali muncul, tak lupa ia menyalakan loudspeaker dan meletakan ponsel itu jauh disudut mejanya.

"Aku tau kamu pasti angkat telfonnya Dewa. Aku tau kamu sebenarnya juga masih sayang kan sama aku? Aku bisa liat kamu masih berharap hubungan kita kembali kaya waktu itu. Dan aku juga ngerti, kamu ngelakuin semua ini supaya aku sadar kalau nggak ada laki-laki yang lebih baik daripada kamu buat ngertiin aku." oceh perempuan itu panjang sejak didetik pertama panggilannya tersambung.

Seperti angin lalu yang dibiarkannya lewat, seperti itulah Dewa mengabaikan ocehan perempuan itu yang berkeliaran disekitaran lubang telinganya.

"Ayo kita ketemu malam ini." ucap Dewa setelah terdengar perempuan dibalik ponselnya itu kehabisan nafas karena mengoceh tanpa jeda.

"Ketemu? Kamu ngajak ketemuan Wa?" sahut Irene histeris.

"Ya. Tapi mulai hari ini jangan temuin aku dikantor lagi."

"Oke. Nggak masalah buat aku. Lagian ketemu diluar berduaan lebih romantis daripada dikantor kamu." katanya penuh percaya diri.

Setelah menyampaikan kalimat yang ingin diucapkannya, Dewa langsung menutup telfon itu tanpa pamit. Menatap dinding putih susu dihadapannya sambil tersenyum tipis. Ia sudah berjanji untuk tak mengganggu Dara sebelum masalahnya dengan Irene selesai.

Tiga hari sudah komunikasi antara ia dan Dara terputus. Dewa tak lagi menghubungi perempuan itu baik secara langsung maupun ponsel, ia menghargai keputusan Dara. Dan memang saat ini, hal itulah yang paling baik. Dewa juga tidak mau Dara yang tidak tahu apa-apa akan terseret dalam masalahnya dengan Irene.

"Tok-tok-tok!"

Menyadari orang yang datang adalah perempuan yang sekarang ada dipikirannya, Dewa lekas merapikan pakaian dan membuka laptopnya sebelum menyahut. Dengan begitu, ketika perempuan itu masuk, Dewa ada alasan untuk tidak mengangkat kepala menatapnya.

"Masuk!" ucap Dewa meninggikan suara tanpa mengalihkan matanya pada layar laptop yang hanya menampilkan puluhan desktop.

"Ini berkas hasil rapat kemarin Pak." katanya datar dan formal. Hampir mengangkat kepalanya menatap si pembicara, Dewa berpura-pura menatap jam tangannya.

"Ya. Silakan taruh saja dimeja saya." jawab Dewa tercekat sendiri. Aneh rasanya berbicara model dosen sastra kepada perempuan yang ia sukai sendiri.

"Ya Pak. Kalau begitu saya keluar."

"Emm." sahut Dewa pendek karena bibirnya tak bisa lagi berkata apa-apa selain deheman lembut itu. Sebelum Dara benar-benar menghilang dari pintu ruangannya, Dewa belum mengangkat kepala meski pegal ditengkuknya sudah sangat terasa.

Dewa Untuk Dara [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang