What should I do Now?
Tanpa sepengetahuan Davina, Dara berjalan malas ke ruangan kafe. Tangannya bergerak layu menekan saklar, menyalakan salah satu lampu. Setelah itu, Dara berjalan dan berhenti disalah satu meja yang membawa pandangannya menatap langit. Matanya jatuh memandangi bulan, namun ingatannya kembali bermain-main dengan percakapannya dengan Davin tadi siang.
"Seperti yang kamu bilang, kita bukan anak kecil lagi Dar." katanya sambil menatap lurus dinding kaca yang membungkus ruang kafe. Dara menoleh sekilas sebelum kembali menatap puluhan pengunjung kafe yang masih banyak seperti hari-hari kemarin. Davina kebetulan sedang masuk ke dalam rumah.
Tanpa aku bilang, anak TK juga sadar kita udah gede! Dara membatin menanggapi ocehan Davin yang terlalu aneh untuk menjadi topik pembahasan saat itu. Namun otak manusianya masih bekerja, Dara tersenyum sambil menatap mata sipit sahabatnya. "Ya iyalah Dav. Sekarang ini, anak baru pakai seragam putih biru aja udah naik darah dibilang anak-anak. Apalagi kita yang udah kepala dua." sahut Dara mencoba menarik wajah serius Davin ke arah bercanda.
"Diluar sana... masih ada nggak yaa yang kayak kita berdua." kata laki-laki itu. Rupanya keahlian Dara dalam melucon tidak terlalu baik, Davin malah semakin serius sekarang. Jika seperti ini, Dara seperti bukan dengan seorang Davin, laki-laki yang sering dijulukinya anak gajah itu, dulu.
Bukan atas dasar menanggapi, namun karena tidak mengerti. Dara menarik kursi Davina yang belum ada tanda-tanda perempuan itu kembali ke pantry kafe. Duduk tepat disebelah Davin yang masih memasang wajah serius, apalagi kalau sedang memikirkan sesuatu yang ia yakini benar namun masih ada sedikit keraguan.
"Nyaman setiap berdua atas dasar teman kecil, sahabat, tetangga lama." ocehnya lagi yang membuat Dara harus menjungkir balikan otaknya untuk mengerti apa maksud dibalik kata-kata Davin yang Dara nilai bukan tipe laki-laki serius. Akh... Ini juga kebiasaan Dara menghubungkan orang lain dengan data-data yang diketahuinya dimasa lalu meski hampir belasan tahun tak pernah berkumpul lagi. Well, bisa saja semakin dewasa seseorang itu akan berubah kepribadian kan? Terlebih Singapur terkenal dengan orang-orang yang tidak pernah bermalas-malasan, serius meraih sesuatu. Davin hidup dinegara itu sembilan tahun ini.
Dara merapikan anak rambutnya ke belakang telinga sebelum buka suara. "Masih ada lah..." sahut Dara dengan mengatur nada suara agar terdengar biasa saja. Sepertinya kalimat lanjutan dari Davin sedikit membuka peluang otaknya mengerti ke arah mana laki-laki itu akan melanjutkan percakapan mereka.
"Di buku-buku novel yang kepajang di Gramedia?" celetuk Davin setelah hampir semenit dia tak menyahuti jawaban Dara barusan. Mengkerutkan dahi hingga sedikit berlipat, Dara tak langsung menyahut. Sepertinya Davin yang sedang duduk disebelahnya ini bukanlah sahabat kecil yang mengobrol seru dengannya diteras belakang rumah beberapa jam tadi.
Kenapa Davin harus menyangkutpautkan jawabannya dengan hobi sekaligus dunia tersendiri Dara itu-
"Rasanya aneh kalau seumuran kita saling nyaman tapi masih saling bertahan dalam kata persahabatan."
Lagi-lagi ucapan Davin membuat Dara semakin mengerti akan sampai dimana percakapan ini jika Davina tidak segera datang dan mengacaukan suasana hening dan wajah serius Davin dengan racauannya.
"Justru dengan kata sahabat, sebuah hubungan tanpa darah tak lekang dimakan waktu." timpal Dara seolah menolak semua pernyataan yang sejak tadi Davin lontarkan. Buktinya, sembilan tahun tidak bertemu mereka masih bisa bersama seperti ini. Meski jujur saja awal pertama dengan laki-laki itu Dara cukup canggung, perlahan otaknya berputar cepat menyimpulkan satu kata yang harus ditanamkan dalam benak, mereka sahabat, sudah dari kecil, dan bak saudara kembar pengantin. Alih-alih, Dara juga tidak mengerti kenapa dia harus meyakinkan pemikirannya itu hanya untuk sebuah kata nyaman, menerima kembali laki-laki yang jelas sudah tidak sama lagi. Davin bukanlah anak gajah sembilan tahun lalu yang dikenalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewa Untuk Dara [✔]
FanficDara selalu percaya pada hukum alam tentang makna pertemuan pertama, kedua, hingga ketiga dengan orang yang sama. Ia percaya, setelah itu akan ada pertemuan berlanjut hingga tidak tahu bagaimana akhirnya. Pertemuannya dengan Dewa, Pimred tampan dan...