MENGETUK pintu kaca itu pas tiga kali, Dara langsung masuk sebelum si pemilik ruangan bersuara mengizinkannya.
"Laporan acara minggu kemarin Pak." ucap Dara tanpa berbasa-basi lalu meletakan berkas ditangannya ke meja Dewa. Sebelum melangkah tadi, ia sudah mengatur suara sebiasa mungkin, seperti biasanya.
Seperti biasa juga, laki-laki itu menatapnya lama. Baru kali ini hampir semenit Dara berdiri didepan meja, Dewa tak bersuara. Jengah, Dara memutuskan pamit meski belum ada sepatah katapun yang terucap dari bibir atasannya. Sejujurnya dia juga aneh sendiri menjalani adegan diam-diaman seperti ini.
"Emm... Kalau gitu saya pamit keluar Pak." pamit Dara akhirnya lalu berbalik dan melangkah keluar.
"Emang susah yaa ngerjain berkas acara kemarin sampai pesan sama telfon saya diabaikan?"
Sedetik Dara tertahan dilangkah pertamanya. Mencerna baik-baik apa jawaban yang masuk akal dan juga tidak bertele-tele tentunya. Laki-laki itu berbicara sebagai pimpinan redaksi barusan, bukan Dewa, ia menggunakan kata 'saya'. Mengambil nafas panjang, Dara berbalik dan tetap berdiri ditempatnya. Ia sedikit kesal saat melihat Dewa menekan remote kaca pintar agar tak tembus pandang, laki-laki itu kemarin memang meminta pihak kontruksi kantor mengganti kaca ruangannya.
"Maaf Pak saya harus keluar sekarang. Ada pertemuan dengan beberapa model untuk pemotretan besok." ucap Dara menatap Dewa sekilas lalu mengarahkan pandangannya pada hal disekitar pria itu.
"Raa..."
"Ya Pak."
"Apa kita ada masalah?"
"Tidak ada Pak. Soal pesan dan telfon anda yang terkesan saya abaikan, itu karena saya beberapa hari ini jarang memegang ponsel dan ada kesibukan lain. Saya minta maaf atas hal itu." sahut Dara panjang, menatap lurus tepat dipuncak kepala Dewa, bukan matanya.
Tak ada lagi kalimat yang sepertinya ingin disampaikan atasannya itu, Dara meraih ponselnya yang berdering.
"Yaa... Halo." kata Dara memelankan suara tanpa berbalik badan.
"Iya. Iya ini sebentar lagi saya kesana." ucap Dara lagi menyahuti seseorang yang berbicara dari ponselnya. Setelah panggilan itu terputus, Dara menatap Dewa dengan pancaran mata sedikit tak enak.
"Maaf Pak saya harus keluar sekarang. Selamat Siang." pamit Dara kedua kalinya lalu menunduk sedikit dan berlalu. Tepat saat tangannya membuka pintu, seorang perempuan cantik berdiri disana. Dara menelan liur dalam melihatnya.
"Oh... Kamu. Kirain Fara. Dewa ada didalam kan?" tanya Irene menatap tajam.
Dara hanya mengangguk lalu segera berlalu. Dalam hati ia sangat berharap Dewa menormalkan kembali kaca bening ruangannya. Bukannya ingin mengamati apa yang akan mereka lakukan, Dara hanya ingin memastikan kalau keputusannya menghindari laki-laki itu bukanlah hal yang salah dan ia tidak perlu merasa bersalah.
Sampai dimejanya Dara langsung mematikan alarm yang tadi memang sengaja ia pasang sebelum masuk ruangan itu. Melirik sedikit, Dara menghirup nafas malas melihat kaca ruangan yang belum berubah.
"Ngapain juga aku penasaran mereka ngapain!" gumam Dara kesal pada dirinya yang belum benar-benar bisa lepas dari pesona Dewa. "Dipinggir jalan aja Dewa pasrah dipeluk sama Iren!" batin Dara lagi dengan nada mengomel. Berapapun kali ia berusaha tak peduli, hatinya mengomel sendiri merutuk tak suka.
Membuka-buka majalah keluaran minggu kemarin, Dara hanya menatap kosong tanpa memikirkan apapun. Entah berapa menit ia bengong seperti itu, baru sadar saat jemarinya berada dilembaran terakhir buku. Tak tahan dengan rasa penasaran yang begitu menghantuinya, Dara sengaja beranjak ke dapur kantor untuk mengganti air putihnya dengan kopi, demi lewat didepan ruangan kaca itu. Siapa tahu saja ada pembicaraan yang bisa didengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewa Untuk Dara [✔]
FanfictionDara selalu percaya pada hukum alam tentang makna pertemuan pertama, kedua, hingga ketiga dengan orang yang sama. Ia percaya, setelah itu akan ada pertemuan berlanjut hingga tidak tahu bagaimana akhirnya. Pertemuannya dengan Dewa, Pimred tampan dan...