20. Bagaimana Ini?

698 94 5
                                    

KEMBALI seperti semula, meski sulit, jika dipaksa maka akan terbiasa.

Kata-kata itu yang Dara batinkan dalam jiwa, raga, benak, otak, dan hatinya sejak melangkah keluar kafe pagi tadi. Dia ingin bersikap biasa saja, layaknya bawahan kepada atasannya. Tidak ada niatan untuk menjaga jarak, menghindar, ataupun tidak berbicara dengan laki-laki yang beberapa menit lagi akan muncul juga dilantai tiga. Dia ingin bersikap normal, yaa seperti tidak pernah mengenal laki-laki bernama Dewa.

Tak banyak bicara, alias sedang malas mengeluarkan suara, Dara hanya tersenyum tipis seraya membayar beberapa lembar uang pada supir taksi. Setelah itu, menatap lantai tiga sebentar dari luar gerbang, ia menarik nafas panjang lalu melangkah menuju penyebrangan. Seperti janjinya, menunggu Davin seperti biasa.


Entah hal seperti ini terjadi pada laki-laki atau tidak. Dara memejamkan mata saat ingatannya beberapa hari lalu menyelinap masuk. Bagaimana ia menolong laki-laki itu tanpa berpikir, apa akibatnya jika saja tak berhasil. Hal seekstrim itu malah terasa seperti peristiwa menyenangkan yang masuk dalam jajar kenangan yang harus dimusiumkan.

"Morning Dar!" sapa Davin yang sudah berdiri disebelahnya. Dara menoleh, tersenyum tipis tanpa menyahut, bahkan langkah kaki teman kecil sekaligus pacarnya itu tidak terdengar gara-gara lamunannya.

"Yuk..." ajak Davin yang hanya direspon Dara dengan anggukan sekali. Mereka berjalan bersisian, Dara tak kuasa menoleh ke belakang, memastikan sesuatu yang barusan hinggap di pikirannya tidak terulang.

"Ngeliatin apa sih?" kali ini Davin berhenti melangkah dan ikut menoleh lama ke belakang. Mencari-cari apa yang dilihat Dara.

"Nggak ada. Yuk!" sahut Dara lalu menarik lengan Davin sedikit paksa untuk segera berlalu. Setelah itu, tak ada percakapan sama sekali yang keluar dari bibir Dara. Telinganya pun tidak dipasang dengan benar saat Davin bercerita panjang lebar, mulai dari masuk gerbang hingga sampai dilantai tiga.

Seperempat jam berlalu, angka delapan sudah muncul dijam ponsel masing-masing pegawai. Dara membuka komputer, menyusun scrip yang harus ia selesaikan. Bu Dewi memintanya untuk membantu mengoreksi draf laporan acara kemarin, mulai petugas hingga biaya yang dikeluarkan.

Baru Dara tahu, ternyata jadi pegawai kontrak memang agak dianak bawangkan. Meski ia di kantor ini sebagai fashion stylist, ia tak cukup santai seperti Katrina. Beberapa pekerjaan yang bukan bidangnya harus ia lakoni juga. Sebut saja, notulis ketika rapat mingguan, membuat dan memeriksa artikel, terkadang juga ikut Pak Sugi mengedit tiap lembar majalah yang siap cetak, dan sekarang menyusun draf penting yang masuk acara tahunan perusahaan.

"Dara!" panggil Pak Sugi yang sudah memutar kursi ke arahnya. Dara memutar kursinya juga ke arah laki-laki berambut gondrong itu.

"Yaa Pak?" sahut Dara seraya mengikuti arah telunjuk Pak Sugi. "Nggak tahu." kata Dara setelah tahu apa maksudnya, Pak Sugi menanyakan keberadaan Pimred padanya. "Saya kerja lagi yaa Pak." pamit Dara sopan lalu membalikan kursinya kembali, menatap penuh tulisan dilayar komputer. Sedetik kemudian, Dara tak bisa menahan bola matanya untuk tak menoleh lagi pada ruang kaca itu. Sejak tadi, dia memang tidak merasakan ada orang lewat disebelah mejanya. Kemana?

Membuang rasa penasarannya jauh-jauh, Dara kembali fokus pada pekerjaannya saat ini. Tapi kalimat-kalimat yang dibisikan hatinya membuat Dara mematung sesaat.

Dewa Untuk Dara [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang