15. Perempuan Serba Bisa

785 85 1
                                    

"Pak, Maaf-" kata Dara pelan dan tertahan. Jika saja yang memeganginya itu bukan orang penting, tentu Dara sudah memaksa menarik lengannya sejak lift sudah beranjak turun.

"Eh-" kata pimred itu terkejut saat menyadari jemarinya masih memegangi lengan Dara. Saat sudah lepas, Dara langsung mundur beberapa langkah menjauh. Untunglah pimred berwajah datar itu masih menyisakan oksigen untuk bawahan sepertinya.

Tak ada perbincangan hingga lift itu berhenti dan terbuka. Pimred baru itu langsung keluar dan berjalan menuju kantor, sedang Dara masih ragu apakah dirinya ikut masuk atau langsung pulang saja. Masalahnya, Dara yakin saat kakinya melangkah kembali ke kantor itu, akan ada puluhan mulut yang menanyakan dia dari mana hingga pimred harus menjemputnya segala.

Dengan penuh keraguan Dara melangkah keluar lift. Menghirup udara sebanyak mungkin sebelum masuk ke dalam kantor. Menyiapkan mental untuk menjawab interogasi Ibu Dewi atau Davin.

"Dara kamu nggak papa kan? Dari jam delapan tadi Pak Dewa nyariin kamu buat penilaian yang waktu itu." cecar Katrina saat Dara baru saja mendorong pintu. Perempuan itu sudah menariknya laju ke meja Dara.

"Kamu nggak diculik kan?" kali ini Ibu Dewi ikut-ikutan memutar tubuh Dara memeriksa. Sepertinya pimred tidak memberitahu mereka kalau salah satu karyawannya salah menekan tombol lift. Dara melirik sedikit ke ruangan pimred yang tembus pandang. Laki-laki itu tampak serius memandangi sesuatu ditabletnya. Entah kebetulan atau tidak, Dara langsung memutar leher cepat saat pimred itu menoleh ke arahnya.

"Enggak kok Bu, Rin, aku baik-baik aja. Tadi cuma-" jelas Dara terpotong saat sebuah suara memanggilnya dengan suara keras.

"Adara!"

Dara, Bu Dewi, dan Katrin menoleh bersamaan ke arah pintu ruangan pimred yang terbuka.

"Bisa ke ruangan saya sebentar!" katanya tanpa nada ramah sedikitpun. Ibu Dewi menepuk-nepuk pundak Dara sambil tersenyum dan menyuruhnya agar segera mendatangi pimred itu. Dengan langkah berat dan perasaan tak karuan Dara masuk kedalam ruangan yang bisa membuatnya berhenti bernafas itu.

Sampai didalam, Dara menatap pimred itu yang sama sekali tak menoleh ke arahnya. Bahkan hingga Dara sudah berdiri didepannya, pimred itu tak berkata apa-apa atau menoleh. Padahal Dara sudah sengaja mengeraskan sedikit langkahnya.

"Pak Pimred- huft...." panggil Dara yang tidak sadar kalau dia melepaskan nafasnya hingga bersuara.

"Duduk." katanya pendek tanpa menoleh. Entah apa yang sedang ditatapnya ditablet tipis itu. Dara langsung duduk dihadapan pimred itu dengan kaki bergerak-gerak mengusir gugup. Tangannya yang sudah mendingin pun Dara kepalkan kuat-kuat.

"Kamu sebelumnya kerja apa?" tanyanya. Dara memberanikan menatap pimred itu, bukannya lancang, dalam aturan kantor, ketika berbicara harus menatap mata lawan bicara sebagai bukti keseriusan kalau kita memang memperhatikan. Dan itu sangat berlaku untuk pegawai kepada atasannya.

"Apa saja Pak. Saya pekerja paruh waktu." jawab Dara jujur. Gara-gara kebohongannya kemarin, Dara benar-benar sudah kapok dan berjanji tidak akan berbohong lagi. Meskipun kemarin itu kebohongannya demi kebaikan, bukan untuk merugikan siapa-siapa.

Pimred itu mengangguk-ngangguk sambil menatap sekilas.

"Kenapa akhirnya memutuskan bekerja disini?" tanyanya lagi.

Dara menunduk sebentar menelan liur. Sederhana dan terdengar mudah, namun Dara seperti susah sekali menjawabnya.

"Karena, karena saya memang tertarik dengan dunia fashion Pak." jawab Dara. Sebenarnya banyak alasan lain mengapa Dara menerima tawaran Ibu Rita mengisi sisa kontrak kerjanya.

Dewa Untuk Dara [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang