Dara hampir saja menyemburkan mineral dimulut kalau saja jemarinya tak menutup rapat kedua bibir yang hendak terbuka.
Entah ini rekor terbaik atau bagaimana. Terlambat setengah jam, benar-benar luar biasa. Dara menelan air minumnya tanpa sensasi menikmati. Jika saja Dara yang menggantikan posisi pak Sanusi sebagai pimpinan redaksi, sepertinya laki-laki yang tiba-tiba muncul dihadapannya ini sudah diusir dari kantor.
Masih dengan tas ransel yang menggantung dipunggungnya. Dara menebak Davin langsung duduk dimuka mejanya tanpa mampir dulu dimeja kerjanya sendiri.
"Kamu nggak takut dipecat Dav. Waktu itu yang kita ketemu didepan lift, kamu telat juga kan?" selidik Dara untuk menelusuri isi pikiran laki-laki itu kenapa sampai nekad melambat-lambatkan diri.
Davin malah tersenyum sambil menatap Dara yang terlihat kesal dengannya. Mata sipit Davin membuat laki-laki itu masih terkesan imut, meski usianya sudah dua puluh tahun lebih juga seperti Dara.
"Enggaklah... Aku sudah bilang kok sama Pak Sanusi kalau datang telat. Biasa anak muda..." cengirnya lagi.
Dara mengangguk pelan sambil menatap Davin lekat. "Nggak ke meja kamu?" kata Dara mengingatkan.
"Tega banget. Ngusir?" katanya dengan mata yang tetap sipit meski dibelalakan. Ah- kenapa Dara jadi seperti tak tahu diri. Padahal kan matanya juga sipit seperti Davin.
"Bukan-" kata Dara tertahan. "Kita itu diliatin sama yang lain. Masa kamu datang-datang bukannya taruh tas dulu dimeja, malah langsung duduk disini." lanjut Dara pelan pada orang didepannya.
"Kan kamu karyawan baru. Pasti mereka peka kok, kalau kita lagi kenalan. Ya kan-" Davin mengatup mulutnya karena salah satu karyawan diruangan itu meneriakinya.
"Datang telat. Kenalan sejam. Kapan kerjanya Davin keponakan Tante Rita!" teriak laki-laki berambut keriwil lumayan panjang. Kalau tak salah namanya Pak Sugi saat perkenalan tadi.
"Iya pak. Baru nyampe. Bernafas aja belum kelar!" sahut Davin sambil memandangi Dara yang tersenyum sendiri.
Sejak dulu, Dara memang mengenal Davin sosok yang humoris. Meski wajahnya kadang datar, namun apa yang diucapkannya asal mampu mengocok perut Dara untuk tak berhenti tertawa.
Dan setelah sembilan tahun lamanya tak bertemu. Dara masih bisa merasakan Davin yang dulu diusia mereka yang bukan anak-anak lagi ini.
"Eh Dav, kok bisa sih kamu kerja dikantor majalah. Bukannya dulu cita-cita kamu jadi pilot yaaa?" tanya Dara tak habis pikir. Dulu saat sekolah dasar, Dara ingat sekali kalau sejak mereka TK A sampai lulus kelas 6 SD, Davin selalu menjawab kalau cita-citanya adalah menjadi pilot dan berkeliling dunia bersama orang-orang yang disayanginya.
Bukannya menjawab, Davin malah merogoh saku celananya mengambil sesuatu. "Karena Ini-" katanya tertahan seraya tersenyum. Namun itu mampu membuat Dara tak karuan. Laki-laki itu mengeluarkan gelang berukuran lengan anak kecil yang tersusun dari mutiara plastik bewarna pink.
"Itu kan gelang yang aku kasih ke kamu-" kata Dara tak kuasa menahan haru. Selain memiliki rasa empati yang tingga, Dara juga tipe manusia baperan tingkat Dewa. "Ya ampun Dav, kamu masih simpen. Ini kan udah lama banget. Waktu aku jatuh dari sepeda, terus kalung aku putus." kata Dara mengingat semuanya. Gara-gara laki-laki itu memukul mundur ingatan Dara mengenang masa penuh tawanya dulu. Mata Dara sekarang berkaca-kaca.
Davin menyimpan kembali gelang itu lalu menghirup nafas berat. "Semenjak kamu bilang benci sama pesawat, aku jadi benci juga sama cita-cita aku." ucap Davin serius, matanya menatap dalam meja kerja Dara. "Gimana aku mau keliling dunia pakai pesawat kalau kamu nggak mau ikut. Kan kita sahabatan." lanjut Davin lagi-lagi nyengir sambil menatap Dara yang sudah tak karuan perasaan dan matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewa Untuk Dara [✔]
Fiksi PenggemarDara selalu percaya pada hukum alam tentang makna pertemuan pertama, kedua, hingga ketiga dengan orang yang sama. Ia percaya, setelah itu akan ada pertemuan berlanjut hingga tidak tahu bagaimana akhirnya. Pertemuannya dengan Dewa, Pimred tampan dan...