DARA menatap stopwatch sebentar sebelum kaki jenjangnya melangkah cepat, berlari menuju lintasan sepeda. Entah ada apa dengannya, Dara tidak pernah merasa sebahagia pagi ini sebelumnya.
Mungkin ini karena minggu pertama dia mendapat hari libur dalam hidup. Biasanya, karena sibuk bekerja paruh waktu, Dara bisa lupa hari, bahkan ia tidak peduli sekarang bulan dan tanggal berapa.
Lari Dara terhenti ketika matanya menangkap dua orang yang tengah berjalan kecil tak jauh dari jalur yang Dara lalui. Jika Dara merasa bahagia hanya sampai pada yang namanya hati, dua orang itu tengah tertawa dengan gelinya.
Tertawa memang tidak bisa menjadi indikator untuk mengukur seberapa bahagia seseorang. Namun tertawa lepas tanpa beban, itu sudah menunjukan kalau kita saat itu tengah bahagia dengan tak mengingat masalah apapun kecuali kebahagian. Anak perempuan itu tampak sangat bahagia hanya dengan diajak jalan kaki oleh ayahnya. Tak peduli dengan teman-temannya yang menjadikan hari minggu untuk berlibur ke tempat wisata. Dara memejamkan mata sambil menelan liur mengingat semuanya.
Sekitar dua belas tahun yang lalu, Dara juga pernah diposisi gadis kecil itu. Ayah Dara seorang model yang bukan hanya dikota, namun sudah keluar negara. Tak pernah ada yang namanya liburan keluarga, bahkan Dara bisa berminggu-minggu menahan diri untuk tidak menelfon orang tuanya yang sedang bekerja. Dara bahkan sejak kecil sudah terbiasa dan lengket dengan neneknya, Davina. Dan lari pagi adalah salah satu hal terindah yang pernah Dara lalui bersama Pradipta ayahnya.
Selebihnya, Pradipta ataupun Yashinta mamanya hanya meminta Dara rajin dan fokus pada pelajaran disekolah. Mereka bilang, jika Dara lulus SMA nanti, mereka akan pindah ke Amerika karena Dara akan melanjutkan kuliah disana. Mereka akan lebih sering bersama seperti difilm-film keluarga bahagia yang sering Dara tonton dan mimpikan.
Seandainya saja sembilan tahun lalu dirinya bukanlah anak SD yang hanya bisa menangis, tentu Dara sudah mengurus pemulangan jenazah korban kecelakaan pesawat Indonesia-Singapur waktu itu. Menguburkan jasadnya disini, dan Dara bisa menemui mereka setiap hari.
Dara menatap langit yang sejak dulu tak pernah berubah. Atap biru itu adalah alasan Dara tetap tersenyum hingga saat ini. Davina selalu bilang, Tuhan tidak pernah menginginkan makhluk yang diciptakannya untuk menangis. Itu tandanya Dara harus bahagia, paling tidak dia tersenyum jika tidak bisa tertawa lepas seperti anak kecil yang sudah entah kemana dengan ayahnya.
"Lihatlah... Karena sibuk bekerja dia tidak sempat berkaca dan menyadari tidak semenarik apa wajahnya di mata pria..."
Dara menoleh sekilas pada rombongan gadis pesepeda yang barusan lewat disebrangnya.
"Tubuh bagus saja tidak cukup. Jika wajahnya tidak bewarna sama sekali, siapa yang mau mendekati..."
"Aku juga sering dengar dia jadi bahan perbincangan ibu-ibu. Jangankan pria, ibu-ibu saja tidak menyukai penampilannya yang biasa."
Dara menekan keningnya pening, hidup terlalu sulit jika mengikuti keinginan orang lain. Keinginan sendiri saja banyak yang belum terpenuhi, lantas untuk apa Dara harus mendengarkan mereka?
Dara akhirnya kembali berlari menuju bangku panjang tempat favoritnya menunggu matahari terbit. Setelah itu dia akan pulang dan menunggu Davin datang. Laki-laki itu sudah berjanji akan bertemu secara khusus dengan Davina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewa Untuk Dara [✔]
FanficDara selalu percaya pada hukum alam tentang makna pertemuan pertama, kedua, hingga ketiga dengan orang yang sama. Ia percaya, setelah itu akan ada pertemuan berlanjut hingga tidak tahu bagaimana akhirnya. Pertemuannya dengan Dewa, Pimred tampan dan...