45. Bertemu Denganmu Lagi

698 79 0
                                    

Rasanya tak ada tempat yang menenangkan sejenak pikirannya selain ruang kafe yang beberapa minggu lalu selesai di renovasi. Di penghujung waktu, saat senja mulai menghilang dan berganti malam, Dara tak bisa menahan air mata yang berhamburan tak karuan menghiasi wajahnya yang murung. Tak ada kebahagian, tak ada lagi kesempatan yang perlu diraihnya. Seminggu ini, setelah pulang dari sidang kecil pemutusan hukuman untuk Dewa waktu itu, Dara mengurung diri dirumah, tak membuka kafe dan tidak menerima siapapun yang ingin mengunjunginya.

Bertahan memang suatu pilihan yang mau tak mau harus dijalaninya saat ini. Bertahan disaat segala kebahagiaan rasanya direnggut dalam satu kedipan mata. Seperti lomba panjat pinang, bersusah payah naik untuk meraih yang diinginkan, beberapa senti meter dari yang diinginkan angin malah bertiup deras membuatnya langsung jatuh ke tempat yang paling rendah. Kurang lebih seperti itulah perasaan Dara saat ini. Ia sama sekali tak merasakan sedang hidup beberapa hari ini.

Berkali-kali ia menepis pikirannya mengenai ketidakmungkinan Dewa melakukan hal itu, namun malam tadi, ia memilih memikirkannya dengan pikiran dan perasaan terbuka. Bahkan Dara tak menyadari dirinya akan menghabiskan satu malam dengan kepala tersungkur dimeja kafe. Entah berapa lama ia berdebat dengan dirinya sendiri, Dara terbangun saat aliran kopi yang tumpah menyentuh sisi kanan pipinya.

Yaa, malam tadi ia baru saja membuat keputusan setelah seminggu mengurung diri didalam rumah, jangankan tetangga yang mengetuk pintu untuk menjenguk keadaannya, cahaya matahari saja tak ia ijinkan masuk, dalam artian Dara tak membuka akses apapun dirumahnya.

Keputusannya bulat, hari ini ia akan datang ke penjara untuk menemui Dewa. Ia harus mengatakan segala hal yang ia perbincangkan dengan hatinya beberapa hari ini. Tentang rasa, tentang cinta yang tidak benar diantara mereka.

Setelah mandi dan menyantap bubur instan yang tersisa, Dara langsung bersiap-siap untuk berangkat. Ia sudah menghubungi Pak Samsir untuk menjemputnya.

Dimobil Dara pun tak mengatakan apa-apa sampai supir taksi itu membuka percakapan terlebih dahulu.

"Gimana kabarnya mbak Dara?"

Dara menoleh dari jendela mobil, menatap Pak Samsir yang meliriknya lebih dulu dari cermin yang tergantung. Dari nada bicaranya, jelas laki-laki itu tak nyaman dengan kalimat ia katakan barusan.

"Baik Pak." Sahut Dara pendek.

"Saya masih nggak percaya sama musibah yang nimpa orang sebaik mbak Dara." Kata Pak Samsir lagi.

Dara hanya mengulas senyum tipis tanpa menanggapi. Jangankan Pak Samsir, dirinya saja masih tidak percaya jika mengulang detik-detik, atau hari-hari sebelum peristiwa naas itu terjadi. Bisa dibilang ia hampir kehilangan akal setiap kali berusaha percaya jika Dewa lah yang melakukan semua itu.

Setelah membayar dan taksi Pak Samsir berlenggang pergi, Dara memeriksa ponselnya yang sebenarnya sejak tadi bergetar tanda ada seseorang yang menghubungi.

"Halo?" Sapa Dara datar setelah mengangkat panggilan Davin. Ia memang masih butuh sendiri dan sedikit terganggu jika berinteraksi dengan siapapun disaat seperti ini.

"Kata Bu Inah kamu pergi naik taksi, kemana Dar?" Tanya laki-laki dibalik ponselnya itu. Dara menggaruk dahinya yang mendadak gatal. Inilah yang ia kesalkan jika terlalu diperhatikan oleh seseorang, meskipun sahabatnya sendiri.

"Iya. Emang kenapa?" Jawab Dara masih dengan nada datar.

"Kemana?"

"Kantor polisi."

"Nemuin Dewa?"

Tak berniat menyahuti yang nanti berujung debat antara mereka, Dara langsung memutuskan sambungan telfon dan mengubah setelan silent untuk ponselnya.
Dara yakin sahabatnya itu pasti tidak setuju dengan yang dilakukannya saat ini. Itulah kenapa ia tidak ingin berinteraksi dengan orang-orang, Dara ingin menyelesaikan segala permasalahan otak dan hatinya menurut keputusannya sendiri, bukan dari orang lain.

Dewa Untuk Dara [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang