MINGGU ke tiga dalam bulan ini begitu terasa lamanya. Dara mengaduk teh herbal yang biasanya Davina buat untuk mereka.
"Nenek lihat beberapa hari ini kamu berangkat sama pulang kantor nggak bareng Davin." kata Davina. Dara tak menyahut karena ucapan perempuan tua itu bukanlah pertanyaan, namun pernyataan yang mungkin sudah lama disimpannya. Hanya saja minggu libur ini baru ada kesempatan berbicara sesantai ini.
"Kamu lagi nggak ada masalah kan sama teman kamu itu?" lanjutnya kali ini bertanya. Dara meletakan sendok teh dan membawa dua cangkir beraroma khas itu ke meja makan. Sebenarnya sudah sejak tadi ia selesai mengaduk, mengulur waktu agar Davina tak membahas hal-hal yang memang berusaha tak ia hiraukan itu. Mengingat Davin, Dara sedikit kesal karena sikap laki-laki itu sangat kekanak-kanakan.
"Nggak ada. Biasalah Nek... Namanya juga sibuk. Apalagi kan Davin fashion journalise, jadi lebih susah daripada Dara." sahut Dara sambil meneguk teh dicangkirnya. "Ada yang harus Dara beli nggak hari ini?" tanya Dara menatap perempuan yang tampak banyak melamun dihadapannya. "Maaf yaa Nek, gara-gara Dara mutusin ngambil kontrak itu, jadi nggak bebas lagi. Liburnya cuma hari minggu." keluhnya lagi dengan nada benar-benar menyesal.
"Kamu jangan bohong sama nenek?" sanggah Davina membuat Dara membelalakan mata tak percaya neneknya berkata begitu.
"Ngapain Dara bohongin nenek?" kata Dara terpaksa tertawa dan tetap terlihat santai. "Davin bilang sama nenek kita berantem?" tanya Dara seraya menggelengkan kepala. Mana mungkin laki-laki itu memberitahu Davina karena jelas-jelas dia yang memintanya agar tak memberitahu hubungan itu pada siapa-siapa. Hubungan yang malah membuat keduanya jadi tak saling menghubungi seperti ini.
"Nenek kan sudah bilang jangan pacaran Nak..." katanya layu tanpa menatap lawan bicara. Davina meneguk teh itu sedikit, namun gerakan menelan dilehernya berkali-kali. Ia sedang menelan liur kekecewaan rupanya. "Kamu tahu kan hubungan, terlebih melibatkan perasaan itu bukan suatu permainan Raa. Mudah dimulai mudah juga diakhiri. Ada yang menang, lalu ada yang kalah."
Kini gantian Dara yang menelan liur puluhan kali. Menelan hidup-hidup pertanyaan konyol yang hampir terlontar dari bibirnya. Nenek tahu dari mana? Tentu saja Davin. Hanya mereka berdua yang tahu, dan hanya Davin teman laki-laki Dara yang juga mengenal Davina.
"Pohon semakin tinggi, akan semakin banyak daun yang muncul, akar yang memanjang membuatnya kuat, hingga muncul bunga lalu buahnya. Sama seperti sebuah hubungan, semakin waktu berjalan, hubungan itu akan semakin erat. Jangan sampai sebelum semuanya bermunculan, kamu sudah terlambat."
"Bukannya nenek nggak suka kamu berhubungan lebih dengan Davin. Hanya saja nenek rasa kalian itu lebih cocok menjadi teman. Kalian seumuran Raa. Tingkat kedewasaan laki-laki dan perempuan itu berbeda. Itulah kenapa kebanyakan perempuan mencari pasangan hidup yang lebih tua darinya. Laki-laki membimbing, bukan dibimbing."
Tertunduk dalam tak menyangka, Dara mencekram erat cangkir keramik digenggamannya. Ada menyesal, juga bingung apa yang harus ia lakukan sekarang. Disatu sisi ingin mengakhiri, namun disisi lain ia nyaris tak punya nyali, ini masalah hati.
"Ya sudahlah... Nggak usah dipikirin. Bahan-bahan dirumah juga sudah lengkap semua kok Ra..." kata Davina lagi lalu meminum teh yang Dara buatkan. "Kamu mending sepedaan atau lari pagi puas-puas, kan kemarin-kemarin pakai waktu." tambah perempuan lalu tersenyum, memperlihatkan deretan gigi rapinya yang masih lengkap, hanya saja keriput disekitar mata dan dahi sudah begitu nampak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewa Untuk Dara [✔]
FanfictionDara selalu percaya pada hukum alam tentang makna pertemuan pertama, kedua, hingga ketiga dengan orang yang sama. Ia percaya, setelah itu akan ada pertemuan berlanjut hingga tidak tahu bagaimana akhirnya. Pertemuannya dengan Dewa, Pimred tampan dan...