43. Bagaimana Sekarang?

589 76 0
                                    

Dara membuka matanya cepat saat mendengar suara pintu yang terbuka. Kesadarannya yang belum begitu terkumpul langsung mengarah pada satu hal yang diingatnya sebelum jatuh pinsan di lorong rumah sakit siang tadi.

Tanpa menyapa Davin yang baru saja masuk membawa kantong plastik, Dara langsung keluar begitu saja dari ruangan rawat serba putih itu. Tergesa-gesa, Dara tak percaya ia tak sadarkan diri hampir tiga jam lebih. Dibelakangnya, Dara tahu Davin tengah berlari menyusulnya.

"Dar kamu mau kemana!? Kamu dari tadi pagi belum makan." Suara Davin berhasil membuat Dara menghentikan langkahnya seketika. Bukan karena pergelangan lengannya yang ditahan, tapi kalimat laki-laki itu terlalu menjengkelkan untuk didengar. Berbalik, Dara meringis menahan tangisnya yang hampir keluar. Ditatap nya Davin lekat tanpa berusaha menarik lengannya yang masih dipegang laki-laki itu.

"Sampai kapan sih kamu kaya gini Dav! Kamu nggak ngerti juga yaa gimana rasanya kehilangan seseorang yang berarti banget dalam hidup kamu. Tadi pagi aku nungguin di depan ruang rawat kamu nawarin aku minum. Sekarang kamu berhentiin aku dan suruh aku makan-" Kata Dara panjang lalu menarik tangannya pelan. Davin yang berdiri dihadapannya gelagapan menjelaskan.

"Dar... Aku cuma nggak mau kamu-"

"Cukup Dav! Bukan gini caranya kamu khawatir sama aku! Kamu bisa nggak sih empati dikit sama perasaan aku sekarang! Nenek aku baru aja..." Potong Dara terputus lalu berbalik dan meninggalkan Davin sambil menutup wajahnya yang sudah basah karena tak bisa mengontrol air mata.

Mungkin responnya terbilang terlalu berlebihan. Dara mengerti Davin mengkhawatirkan keadaannya sekarang. Ia memang belum ada makan sejak pagi tadi, karena rencananya mereka akan makan bersama di rumahnya.

Namun cara laki-laki mengkhawatirkannya benar-benar membuat Dara kesal. Disaat seperti ini, bagaimana bisa ia makan dan minum seenak jidat. Jangankan lapar dan haus, bernafas saja rasanya Dara sudah tak menyadari itu. Dadanya terlalu sesak menerima keadaan yang membuatnya nyaris tersudut dari muka bumi.

Sampai didepan ruangan beberapa jam lalu Davin ditangani, langkah Dara terhenti. Mendadak kedua lututnya merapuh, sendi-sendi disekitar tangannya seolah tak berfungsi. Terasa ngilu saat lengannya terangkat untuk membuka pintu.

Belum terbuka, gerakan Dara terhenti saat Davin lagi-lagi menahannya.

"Almarhumah nenek sudah dipindah Dar." Ucap Davin yang membuat tubuh Dara merosot seketika. Almarhum dan almarhumah adalah kata yang membuatnya merasa dunia terlalu kejam menakdirkannya masih bertahan hingga sekarang.

Davin menahan tubuhnya, memeluknya, menenangkannya, menepuk-nepuk pundaknya pelan.

Tak ada yang berkurang, malah kesedihan itu semakin terasa, semakin mencubit-cubit ulu hatinya yang padahal perlahan baru saja membaik.

"Kamu nggak sendirian. Kita lewatin ini sama-sama yaaa. Dulu aku emang ninggalin kamu, sekarang aku janji nggak akan kemana-mana lagi. Aku akan tetap disini nemenin kamu." Bisik Davin yang membuat Dara tak bisa menahan kepalanya untuk tak bersandar dibahu teman kecilnya itu. Saat ini memang hanya laki-laki itu yang ia miliki, yang ia kenal baik layaknya saudara.

"Aku akan buat Dewa dihukum seberat-beratnya Dar! Nyawa harus dibalas nyawa. Dia udah bikin nenek nggak ada sekarang. Bahkan kata dokter, tusukan pisaunya bukan cuma satu, tapi tiga kali." Kata Davin lagi yang membuat pikiran Dara semakin beku. Karena jujur saja, disatu sisi hatinya sangat kecewa bahkan marah besar, namu disisi lain, jiwanya meronta-ronta tak percaya laki-laki yang ia kenal baik dan percaya itu melakukan hal seburuk ini padanya. Bahkan jika dipikir secara baik dan struktur, Dewa sama sekali tak memiliki alasan melakukan itu pada Davina.

Dewa Untuk Dara [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang