56. dijodohkan 2

3 2 0
                                    

Jakarta yang selalu ramai dan kerap sekali macet itu tak pernah sepi. Ada saja kendaraan yang berlalu lalang. Seperti halnya Ainin yang juga sedang menyetir mobil. Tak di sangka ia bisa dengan cepat pandai menyetir mobil. Sebenarnya, ia tidak ingin menyetir mobil sendiri. Tapi, bagaimanapun kantor ayahnya dan sekolahnya beda arah. Dan dia tidak ingin membuat ayahnya kelelahan karena harus mengantarnya bolak balik.

Mobil yang di kemudikan Ainin adalah mobil ayahnya, untunglah masih ada mobil lain untuk di pakai ayah nya ke kantor. Mengingat kembali kejadian kemarin membuatnya bergidik ngeri, bagaimana seandainya tukang begal itu juga menculiknya? Apa yang akan terjadi selanjutnya? Ainin beberapa kali berucap syukur karena Allah masih melindunginya dan dia juga harus berterima kasih sebanyak-banyaknya kepada Gilang.

Ia kembali teringat perkataan ayahnya kemarin malam, sebelum ia tidur seperti biasanya ia berkumpul dengan keluarganya.

"Ayah pernah berjanji dengan Ariswansyah untuk menjodohkan anak kami. Tapi, karena Gilang dan Alwi adalah anak laki-laki. Sedangkan adik Gilang, umurnya terlalu jauh dengan Alwi. Maka, kami mengurungkan niat itu. Dan sekarang mama dan papa punya anak perempuan yaitu kamu, Ainin. Hanya kamu yang bisa menepati janji itu, Ainin."

Otaknya berusaha keras untuk menghilangkan ucapan ayahnya yang masih terngiang-ngiang di pikirannya. Namun, bagaimana pun ia berusaha, ia tetap mengingat ucapan ayahnya itu.

Meskipun orang tuanya tidak ingin memaksa Ainin untuk berjodoh dengan Gilang. Tapi, ia ingin berusaha menjadi anak yang berbakti. Di satu sisi, ia masih teringat dengan laki-laki pujaannya yang sama sekali belum pergi dari ingatannya tapi, disisi lain ia ingin berbakti dengan orang tua angkatnya itu.

Pikirannya kembali berkelana mengingat masa-masa yang pernah dia lalui dengan Akram. Sejenak dia berpikir, apakah kisah mereka akan berakhir disini? Jujur, meskipun sudah setengah tahun lebih tidak pernah bertemu dengan Akram. Tapi, hatinya tetap lah masih sama, ia masih mencintai Akram. Bagaimana dengan usahanya selama ini yang masih mendoakan Akram untuk menjadi jodohnya? Ainin menggeleng dan berusaha berpikir optimis. Ia akan meminta petunjuk kepada Allah dengan shalat istikharah nya. Takdir Allah lebih baik, daripada apa yang di harapkannya. Itulah yang dipikirkan Ainin.

Mobilnya perlahan masuk di pekarangan sekolah, memarkirkan mobilnya di parkiran. Ia pun mulai membuka pintu mobilnya dan berjalan menuju kelasnya.

"Ainin!!! " panggil seseorang membuat Ainin menoleh

"Ehh Tia. " Tia cengengesan kemudian mengangguk.

"Bareng yuk ke kelas."

"Ayo"

Tia yang notebene tidak bisa tenang selalu bertanya perihal apa saja. Ainin menjawab sekenanya dan sebisanya.

Meskipun mereka baru-baru penaikan kelas, tapi hari ini mereka di wajibkan untuk ke sekolah sebelum libur 2 minggu.

"Gue nggak nyangka lo bisa geser wawan. Lo emang the best deh, kalau nanti kelas tiga lo juga harus geser Gilang dari peringkat 1"

"Aku juga nggak nyangka bisa peringkat 2. Untuk mengambil alih posisi Gilang sepertinya itu sangat rumit. Gilang sangat pintar, bahkan nilai aku dan Gilang selisihnya jauh banget. "

"Benar juga sih. Itu anak makan apa sih?  Apalagi dia kan ikut organisasi juga, bisa yah dia peringkat 1 di kelas. "

Ainin mengedikkan bahunya tanda ia tidak tahu.

"Sudahlah buat apa memusingkannya."

"Iya juga, heheh. "

Mereka kembali terdiam, namun lagi-lagi yang namanya Tia, tidak bisa terima jika suasana menjadi sunyi.

Kisah Kehidupan NisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang