66. luapan emosi

38 7 0
                                    

Cahaya matahari yang mulai menyengat tubuhnya, tak membuat Ainin berpindah dari tempatnya. Tatapannya tak sedikit pun ia alihkan dari batu nisan ayahnya. Yah, ia kembali ke tempat ini, tempat di mana ayahnya beristirahat untuk selamanya.

Sekuat tenaga ia menahan dirinya untuk tidak menumpahkan kesedihannya di depan kuburan ayahnya. Sesekali ia menyeka keringatnya di pelipisnya, panas dingin mulai menjalar ke seluruh tubuhnya.

Untuk sekian lama, Ainin tersenyum, menunjukkan bahwa ia bisa. Bahwa ia bisa menerima takdir yang terjadi dalam hidupnya. Bahwa ia akan berusaha ikhlas akan kepergian ayahnya.

"Pah," panggil Ainin.

"Besok Nisa akan kembali ke Jakarta, papa jaga diri baik-baik, yah"

Ahh terdengar gila mungkin, Ainin memberitahu ayahnya yang sudah meninggal untuk baik-baik saja.

"Mmm... Pah, sebenarnya Nisa ingin ketemu mama, tapi.... tapi Nisa takut, takut kak Zaki akan ngusir Nisa sebelum melihat mama," Ainin menjeda ucapannya.

"Kita doain mama baik-baik aja, yah, pah. Kalau Nisa nggak bisa ketemu mama, nggak papa, asalkan mama baik-baik saja. Iya kan pah?"

"Ayo pah, kita sama-sama berdoa," ucap Ainin mengangkat kedua tangannya.

"Semoga mama selalu sehat-sehat saja, semoga mama panjang umur, semoga mama nggak lupain, Nisa. Semoga mama bahagia. Semoga mama.... "

"Ni....sa"

Deg!

Ainin mematung di tempatnya, ia menahan nafasnya sejenak hingga detik berikutnya jantungnya langsung memompa lebih cepat.

Suara itu... Suara itu tidak asing bagi Ainin. Suara itu... Suara yang Ainin rindukan. Sosok dari pemilik suara itu yang Ainin ingin temui.

Ainin menggeleng, mungkin saja ia sedang berhalusinasi karena terlalu merindukan sosok itu.

"Nisa," panggil sosok itu sekali lagi.

Efeknya masih sama, jantung Ainin kembali berdetak lebih cepat. Ia yakin, ia tidak sedang berhalusinasi. Sosok yang tak lain ibunya pasti ada di belakangnya.

Ainin perlahan berdiri dan membalikkan badannya.

Seolah seperti patung, Ainin tidak bisa bergerak. Di hadapannya benar-benar ibunya yang sedang duduk di kursi roda. Di samping ibunya ada Fatimah, Hanif, Ana dan.... Zaki. Bibirnya terasa keluh untuk berucap hingga seseorang langsung memeluk tubuhnya.

Ainin mengerjap-ngerjap beberapa kali. Ia tidak bermimpi kan? Ini nyata? Ibunya memeluknya?

Ainin membalas pelukan ibunya, ia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher ibunya. Rasa lega, bahagia, kaget, bercampur menjadi satu.

Air mata Ainin perlahan keluar, rasa yang selama ini ditahannya sekarang meluap begitu saja. Tangisan yang awalnya terdengar kecil kini menjadi pecah. Ainin menangis sesenggukan.

8 bulan... 8 bulan ia menanggung kerinduan. Sekarang ia bisa meluapkannya. Dekapan ibunya yang selama ini ia rindukan, dan sekarang terobati begitu saja.

Bisakah... bisakah pelukan ini berlangsung lama? Bisakah waktu berhenti untuk saat ini? Bisakah? Aku benar-benar ingin pelukan ini berlangsung lama. Aku benar-benar ingin meluapkan semuanya, aku benar-benar ingin.... Ya Allah... Izinkan untuk saat ini aku meluapkan kerinduanku pada mama. Mama, aku sangat merindukanmu.

Ainin semakin mengeratkan pelukannya. Begitu pun dengan ibunya. Keduanya sama-sama menangis.

Di belakang Yanti, Fatimah dan Ana menangis terharu melihat Yanti dan Nisa. Apa yang dirasakan Yanti dan Nisa seolah tersalurkan ke mereka.

Kisah Kehidupan NisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang