42. My problem is My problem

2 3 0
                                    

Ainin sudah boleh pulang dari rumah sakit, sekarang ia bersama Sandra dan Alwi. Aditama tidak sempat karena harus mengurus kantor yang menjadi pekerjaannya.

Hari senin yang teramat cerah, seakan menyambut kedatangan Ainin yang pulang dari rumah sakit.

Perlahan pintu rumah terbuka dan menampilkan sosok paruh baya dengan bahagia menyambut kedatangan Ainin, Sandra dan Alwi.

"Bibi sangat senang sekali, kalau hari ini Non sudah boleh pulang"

"Iya bi, alhamdulillah. Ainin mau ke kamar dulu. Mah, kak Alwi, Ainin kekamar dulu"

"Perlu mama antar ke kamar, nak? "

"Tidak perlu ma, Ainin udah baikan"

"Baiklah, hati-hati jalannya, kamu baru saja sembuh"

"Iyya mah"

Dalam hatinya, ia masih terluka. Sungguh, ia kembali mengingat ayahnya. Luka yang ingin dia lupakan, selalu saja menghampirinya. Ia terus mencoba, tapi semakin ia mencoba luka itu semakin dalam.

Tubuhnya bergetar menaiki tangga, Sandra dan Alwi melihat hal itu. Perlahan Sandra melangkah untuk mendekati Ainin. Namun, Alwi mencegah Sandra dan menggeleng.

"Biarkan Ainin menghadapi lukanya sendiri, Alwi yakin Ainin kuat. Dia pasti bisa melawan luka yang selama ini ia rasakan. Biarkan ia, mah. Ainin butuh sendiri, Aini butuh merenungi dirinya."

"Tapi Alwi, mama takut Ainin melukai dirinya lagi"

"Percaya sama Alwi mah. Ainin orangnya kuat. kita hanya perlu selalu di samping Ainin dan selalu menyemangatinya."

"Mama harap apa yang kamu katakan benar. Mama juga ingin ke kamar. " sandra memijit pelipisnya sendiri sambil berjalan menuju kamarnya. Sandra juga butuh istirahat, masalah putrinya juga mengganggu pikirannya sendiri.

"Iyya mah"

'Arghh besok! Besok gue akan berangkat ke luar negeri. Tapi, dalam situasi saat ini mana mungkin gua bisa ke luar negeri'

Alwi berjalan menuju kamarnya, oh tidak! dia berjalan ke kamar Ainin. Perlahan ia membuka pintu pelan-pelan. Dapat ia lihat Ainin sedang baring di kasurnya. Alwi berjalan masuk ke kamar Ainin dengan sangat hati-hati.

Dia duduk di pinggir kasur dan mengusap lembut kepala Ainin yang terbalut hijabnya.

"Ainin, semangat yah dek. Kakak akan selalu mendukungmu. Hmm, sebenarnya kakak ingin mengatakan sesuatu. Tapi, kakak takut mengatakannya. Hmm be-besok, besok kakak berangkat ke luar negeri. Kakak sangat berat meninggalkanmu saat keadaan kamu seperti ini. Tapi kakak tidak punya pilihan. Kaka-" Alwi menghentikan bicaranya saat melihat tubuh Ainin bergetar, yah ternyata Ainin tidak tidur dan mendengar semuanya. Tubuh itu bergetar karena menangis.

"A-ainin kamu tidak tidur? "

"Ka-kakak beneran mau berangkat besok hikss hiks hiks"

"Mmmm" Alwi tidak tau harus bicara apa lagi, bibirnya tiba-tiba keluh untuk mengeluarkan sepatah kata sedikitpun.

Ainin perlahan bangkit dan duduk di kasurnya. Mata sembabnya, di penuhi dengan cairan yang selalu lolos membasahi wajahnya.

"Ainin, kakak ngk bermaksud ingin tinggalin kamu, kakak hanya keluar negeri untuk belajar. Jadi, kamu jangan nangis seperti ini yah." ucap Alwi mengelus kepala Ainin lagi, tapi Ainin mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia merutuki dirinya karena seperti wanita cengeng yang selalu menangis. Perlahan tangannya menghapus kasar air matanya. Ia berusaha tegar dan kembali menatap kakaknya.

Kisah Kehidupan NisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang