Empatpuluh Lima

26 7 0
                                    

Nick sedang menunggu antrian mengisi bahan bakar. Terdapat empat mobil di depannya, Ia memandang Anne yang berjalan menjauh dan memeperlihatkan punggung dan lengannya yang berkulit putih. "Kenapa dia tidak memakai jaket?" gumamnya.

Tiba-tiba telepon Nick berdering, dilihatnya sebentar nama yang muncul di layar.

"Halo? Ada apa, Dik?"

Belum ada jawaban hanya terdengar isak tangis Adiknya.

"Halo? Meta, ada apa?" tanya Nick mengulangi kalimatnya.

"Kakak dimana? Kakak cepatlah ke Rumah Sakit. Kondisi Bunda kritis," kata Meta dengan menahan tangis.

"Ba-bagaimana bisa?"

"Sejak tadi pagi Bunda dipindahkan ke ICU dan kondisinya terus menurun hingga sekarang. Dokter menyuruh Meta untuk menelepon Papa dan Kakak. Papa sudah dalam perjalanan kemari, Kak. Kakak cepat ke sini, Meta takut."

"I-iya, Kakak segera ke sana."

"Dokter menunggu Papa dan Kakak agar dapat bertemu Bunda terakhir kali." Meta menangis semakin keras dan terdengar pilu.

Lidah Nick kelu, pikirannya kosong. Tangan dan kakinya melemas. Diletakkannya ponselnya, tangannya gemetar, air matanya jatuh satu persatu.

Nick memundurkan mobilnya lalu keluar dari SPBU dan mengendarai dengan kecepatan tinggi. "Tunggu Nick, Bunda. Tunggu Nick, jangan pergi dulu," gumamnya sambil menangis.

Tak sengaja matanya melihat ke kursi penumpang dan melihat cardigan Anne di sana. "Astaga, Anne!" pekiknya. Nick meraih ponselnya dan mencoba menelepon Anne. Belum terdengar nada sambung, ponsel Nick kehabisan baterai dan layarnya gelap total.

Masih sambil menyetir, Ia merogoh laci dashboard untuk mencari pengisi daya, tapi tak ditemukannya. Putar arah kembali menjemput Anne juga akan menghabiskan lebih banyak waktu karena Ia sudah terlampau jauh dari SPBU.

"Maafkan aku, An. Maafkan aku," kata Nick sambil mengutuk dirinya sendiri.

****

Dave memarkirkan mobilnya di depan swalayan yang tadi dijelaskan oleh Anne lewat telepon. Ia mencari gadis itu tapi tak tampak keberadaannya. Dave menelepon Anne tapi tak dijawab.

Dave masuk ke dalam swalayan dengan gusar lalu bertanya pada kasir, "Permisi, maaf Mbak lihat teman saya? Perempuan tadi berdiri di depan," tanya Dave pada kasir yang wajahnya dipoles make up.

"Oh, Iya Mas. Ada di dalam, di ruangan staff. Tadi saya lihat dia gemetar di luar dan sesak nafas. Jadi saya ajak masuk," jawab kasir itu.

Tersirat kelegaan dari wajah Dave. "Saya boleh masuk, Mbak?"

"Silahkan, Mas. Masuk pintu itu, dia lagi du---"

Kasir tersebut belum menyelesaikan kalimatnya tapi Dave sudah berlari ke arah pintu yang ditunjuk.

Ia melihat Anne duduk di kursi dan meletakkan kepalanya di atas meja, tubuhnya dibalut selimut milik salah satu staff penjaga swalayan. Dave berjongkok di samping kursi, Ia melihat Anne tengah memejamkan mata. Wajahnya pucat dan matanya sembab terlalu banyak menangis. 

Ia menyentuh dahi Anne, sedikit hangat. Baju Anne basah di bagian bawah mungkin terciprat air hujan saat di luar tadi. Perlahan, Dave menepuk lengan Anne membangunkan gadis itu.

"Anne..." panggilnya.

Anne membuka matanya dan melihat Dave sudah di depannya. "Dave, sudah sampai di sini?" tanyanya dengan suara parau.

 Dave mengangguk, "Ayo pulang," ajak Dave.

Anne mengangkat kepalanya, tapi Ia merasa ruangan di depannya berputar. Kepalanya pusing, Ia mengejapkan mata beberapa kali.

"Kenapa, An?" tanya Dave yang melihat sikap Anne seperti kehilangan fokus.

"Pusing sekali," jawab Anne lirih.

Dave segera mengambil tas Anne, lalu melingkarkan tangannya di bahu Anne dan mengangkat tubuh Anne dengan tangan kanannya. Ia menggendong Anne menuju mobil.

"Mbak, terimakasih ya sudah menolong teman saya. Kami pulang dulu," pamit Dave kepada kasir yang tadi ditanyainya. Kasir itu mengangguk sambil terus melihat ke arah mereka, "Beruntung sekali perempuan itu," gumam kasir tersebut.

Dave mendudukkan Anne di kursi penumpang, sandaran kursi ditariknya ke belakang sedikit agar posisi Anne lebih nyaman untuk tidur. Lalu dilepasnya jaket yang Ia pakai sejak tadi dan menyelimutkannya ke tubuh Anne.

Hujan deras sudah reda meninggalkan gerimis yang masih setia membasahi bumi. Dave berlari kecil menuju kursi supir. Ia memandang wajah Anne yang pucat, kemudian meraih tangan Anne yang sedingin es batu, digenggamnya sebentar.

"Aku tak tahan melihatmu seperti ini, Ne," gumam Dave lalu mulai menggerakkan mobil meninggalkan swalayan. 

Erika membuka pintu gerbang indekos lebih lebar agar mobil Dave dapat masuk ke halaman. Ia membuka pintu kursi penumpang. Dilihatnya Anne sedang tertidur dengan wajah pucat. "Apa yang terjadi, Dave?" tanya Erika cemas.

"Aku sendiri juga belum sempat bertanya apapun pada Anne, dia tertidur sejak aku menjemputnya tadi. Badannya sedikit hangat sepertinya dia demam." Dave mengangkat tubuh Anne kedua kalinya lalu mengekor di belakang Erika menuju kamar.

Dave membaringkannya di tempat tidur, Erika menarik selimut gadis itu agar menutupinya hingga leher.

"Terimakasih Dave," ucap Erika saat Dave akan masuk ke dalam mobil untuk pergi.

"Iya. Tolong rawat Anne ya, Rik. Jika perlu sesuatu segera telepon aku. Aku pergi dulu," pamit Dave.

Dave melajukan mobilnya, Ia melihat ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 11 malam. Sesampainya di depan rumah yang Ia tuju, dilihatnya sebuah mobil berwarna biru terparkir di depannya dan seseorang turun dari mobil tersebut. 

Waktu seolah berpihak pada Dave, suatu kebetulan yang sangat tepat. Ia segera turun dari mobil dengan tergesa menghampiri pemilik mobil biru itu. Menarik kasar bagian atas kaus lalu menghantam rahang pria di depannya dengan kepalan tangan.

Pria di depannya terhuyung beberapa detik lalu menegakkan badannya kembali. Matanya merah, raut wajahnya sangat kacau. Dave tidak peduli, dihantamnya lagi pria itu di bagian perut dan diikuti erangan kesakitan.

Tangan Dave tak mau berhenti, ditariknya kembali leher kaus pria itu dan dipukulnya dengan baku jari pada bagian pelipis hingga memar. Dilanjutkannya memukul sudut bibir hingga berdarah, "Kalau kamu tak bisa menjaga Anne jangan menyakitinya! Berhenti mengecewakan dia dan mempersulit situasinya!" teriak Dave.

Pria itu adalah Nick dengan mata yang tak fokus sama sekali. Tubuhnya rebah di depan halam rumah dengan wajah penuh lebam dan beberapa darah berkat pukulan Dave. Tapi Nick tak membalasnya, tak membalas pukulan ataupun membalas ucapannya.

Napas keduanya tersengal-sengal, keduanya sama-sama menahan emosi. Dave mendudukkan dirinya di samping Nick yang masih berbaring.

Tak berselang lama suara ambulance menderu mendekati rumah Nick. Satu ambulance dan satu mobil di belakangnya memasuki halaman rumah Nick yang luas. Dave memandang ambulance tersebut lalu memandang Nick bergantian.

****

FRIENDSHIP or RELATIONSHIP [TAMAT ✅]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang