Empatpuluh Tujuh (Warning!)

35 5 0
                                    

Mohon maaf sebelumnya, di BAB ini akan ada sedikit scene 21+ di bagian akhir

Pembaca < 21 tahun diharap skip ke BAB selanjutnya

Yuk, lebih bijak dalam memilih bacaan

xoxo

****

Langkah Anne tertahan di depan pagar, Ia berhenti sejenak meyakinkan diri untuk masuk ke dalam rumah tersebut. Erika memandangnya dan berbisik, "Nick membutuhkanmu, An. Percayalah," kata Erika sambil mengangguk.

Anne melanjutkan langkahnya, tampak karangan bunga terjejer rapi dari luar pagar hingga di dalam rumah. Pak Abraham adalah pengusaha yang banyak dikenal orang maka tak heran jika Beliau mendapatkan banyak ucapan bela sungkawa dari relasinya.

Beberapa orang masih tampak keluar masuk dari dalam rumah yang bernuansa lama, dengan pekarangan rumah yang luas, tanaman rimbun di sekeliling rumah yang menyegarkan dan pohon yang ditanam dengan baik untuk meneduhkan. Pot bunga berwarna-warni tak luput dari penglihatan ketika akan menginjakkan kaki ke dalam rumah, sepertinya Bu Sofia sangat menyukai tanaman.

Anne belum melihat Nick sejak Ia masuk tadi, Jerrel --- sebagai perwakilan teman-teman kuliah Nick, segera menuju Pak Abraham yang sedang duduk di dalam rumah dengan pakaian hitam. Beliau menyalami tamu yang datang demi menghormati mereka yang rela meluangkan waktu untuk larut bersamanya dalam kesedihan.

Meta --- Adik Nick satu-satunya duduk di samping Pak Abraham sambil menangis. Seorang perempuan paruh baya memeluknya dan mengusap punggung serta kepalanya untuk menenangkan gadis itu.

Karpet terbentang di dalam rumah, kursi-kursi dikeluarkan agar ruangan menjadi lebih longgar. Ini bukan perayaan, ini bukan acara penting untuk menyambut tamu datang. Ini adalah momen melepas kepergian Bu Sofia selamanya.

"Terimakasih sudah menyempatkan waktu untuk datang kemari," kata Pak Abraham yang masih menggenggam tangan Jerrel. "Tolong hibur Nick ya, saya sendiri sibuk menenangkan Meta. Nick di belakang tak mau keluar sejak pemakaman usai," ucap Pak Abraham lagi.

"Iya, Pak. Kami akan menemaninya," jawab Jerrel yang kemudian meminta ijin untuk menuju halaman belakang rumah. Teman-teman lain mengekor di belakangnya termasuk Anne dan Erika.

Pria tinggi yang dicari tengah duduk sambil melamun memandang halaman belakang yang beralaskan rumput hijau rapi bak karpet buatan. Tak ada suara tangisan tapi aura kesedihan yang mendalam sangat terasa. 

"Nick," Jerrel menepuk bahu pria yang membelakangi mereka. Ia tak menyadari kehadiran teman-temannya sejak tadi. Nick menoleh melihat mereka satu persatu lalu menatap Anne lebih lama kemudian tersenyum.

Anne memeluknya dari samping, menyandarkan kepala Nick agar bertumpu pada bahunya yang kecil. Nick menitikkan air mata, menangis tersedu-sedu di sana. Tak urung mendengar Nick menangis untuk pertama kali membuatnya ikut berlarut. Mereka menangis tanpa sepatah katapun yang terucap, untuk saat ini air mata adalah cara mereka berkomunikasi.

Erika mengusap matanya sendiri saat melihat keduanya saling menguatkan, teman yang selama ini Ia kenal sebagai pria yang dingin dan tak acuh menjadi begitu rapuh saat kepergian Bundanya. Ia menjadi teringat Ibu yang sudah lama Ia tak jumpa.

Erika, Betty dan Cilla mengambil duduk di kursi teras belakang rumah yang mungkin sering digunakan oleh keluarga Nick untuk bercengkrama. Sedangkan Jerrel dan Wildan memilih duduk di undakan tangga, mereka menunggu kedua temannya tenang dan menyelesaikan kepiluan. 

Benar, kematian itu begitu dekat, seperti es tipis yang mudah patah kapan saja. Entah siapa yang akan ditinggal atau meninggalkan terlebih dahulu, hanya Tuhan dan waktu yang dapat menjawab. Bersyukurlah ketika kedua orang tua masih belum meninggalkan, karena mereka adalah tempat terbaik ketika kita pulang dan berkeluh kesah.

FRIENDSHIP or RELATIONSHIP [TAMAT ✅]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang