51

250 29 2
                                    

"MAU kemana, Neng?"

Gea memanyunkan bibirnya. "Udah rapi gini masih aja nanya? Buta mata lo?"

Shaidan menjentikkan jarinya di depan wajah Gea. "Justru yang rapi gini, yang patut dipertanyakan."

Gea tidak membalas perkataan Abangnya yang sedang terheran-heran itu lagi. Ia lebih memilih menenggak susu putihnya hingga tandas.

"Mama sama Papa pulangnya kapan?"

Shaidan mengedikkan bahunya.

"Ya tapi ada baiknya juga lah mereka pulang agak lama, biar gak shock liat keadaan lo sekarang ini. Entar gue juga yang kena."

"Kuliah Abang?"

"Gampang lah, yang penting lo sembuh dulu. Percuma juga kalo gue balik ke Bandung, gak bakalan fokus kuliah. Kepikiran sama lo."

Gea hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Udah mau berangkat 'kan? Yok, Abang anter. Kalo berangkat sendiri, entar nyasar." kata Shaidan sambil terkekeh

Gea meninju kecil lengan Shaidan.

"Gak mau nambah lagi istirahatnya? Kayaknya masih agak basah itu luka di kepalanya."

Gea menyentuh kapas di pelipisnya. "Gak apa-apa lah, dikit doang."

Shaidan mengangguk, sedikit ragu membiarkan adiknya itu masuk sekolah hari ini. Menurutnya, terlalu cepat untuk orang yang baru saja ditabrak mobil. Gea masih harus memulihkan diri.

"Jangan pecicilan ya, Ge, nanti di sekolah. Jangan lari-lari, istirahatnya nitip dibeliin aja sama temen. Gak usah ke kantin."

Gea memutar bola matanya. "Abang, ini baru jalan lho mobilnya. Belum juga setengah jalan, udah banyak aja wejangannya."

"Ya namanya juga orang was-was, Gea. Lo 'kan bar-bar gitu, gimana gue gak cemas."

"Iya, Gea hati-hati nanti. Jangan bawel-bawel ah, Bang."

Shaidan menghembuskan napasnya. "Kamu gak tau, Ge, rasanya jantung pengen lepas dari tempatnya pas liat kamu mental ditabrak si bangsat itu."

"Rasanya nyawa Abang terbang gitu, Ge. Kecewa, marah, sedih. Marah ke diri Abang sendiri lebih besar persentasenya daripada ke yang nabrak kamu. Cowok yang seharusnya ada di urutan terdepan jadi pelindung, yang harusnya bisa diandalkan ini malah gak berguna. Papa Mama lagi gak ada, tapi Abang malah gak berhasil jaga Gea."

Gea menyeka air matanya. "Kok lagi nyetir ngomongnya malah kayak gitu sih, Bang. Bikin gak fokus nanti."

Kemudian ia mengusap pundak Shaidan. "Gea selalu ngandelin Abang. Abang masih masuk list cowok terdepan Gea, kok. Setelah Papa tapi ya, Bang. Kalo Abang dulu, nanti Gea gak dapet uang jajan dari Papa."

Mendengar perkataan Gea, mau tak mau Shaidan tertawa. Gea ini dalam keadaan apapun memang tidak bisa diajak melankolis, jangan harap ada air mata yang keluar sia-sia.

"Udah sampe. Inget ya, Ge, harus— "

"Hati-hati." potong Gea.

"Jangan ngomong doang lho, beneran hati-hati."

"Iya Bang Idan ganteng. Dah sana ah cau!"

"Masuk duluan, Abang liatin." suruhnya.

Gea mendesah pasrah. Daripada mendengar wejangan-wejangan Abangnya lagi, Gea lebih memilih masuk duluan.

"Sakit juga ya kalo jalan." gumamnya sambil menepuk pelan pahanya.

"Gea!"

Gea memekik kaget saat tubuhnya tertarik ke pelukan seseorang.

GEANDRA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang