32

738 57 13
                                    

"DI sekolah kamu ada acara apa, Ge? Ngundang orang tua semua?"

Gea memegang kuat-kuat roda kemudinya, bahkan kini tangannya sudah mengeluarkan keringat dingin.

"Enggak, itu... eung,"

Mama memicingkan matanya, curiga melihat gelagat Gea.

"Kamu kenapa, Gea? Dikasih surat apa kamu sama guru?"

"Ih, Mama entar dulu sih nanya-nanyanya. Gea lagi nyetir dulu, Ma."

Mama menepuk pundak Gea, membuat tubuhnya berjengit kecil, untungnya ia masih bisa mengendalikan keseimbangan mobilnya.

"Kamu di drop out, ya?" Mama mulai meninggikan nada bicaranya.

Gea menggeleng. "Gak separah itu kok, Ma. Entar aja deh bahasnya."

Mama mulai diam, kemudian bersedekap dada dan membuang pandangannya ke jendela mobil.

Gea melirik sebentar, lalu mendesah lesu. Pasti Mamanya itu akan kecewa begitu membaca surat dari Bu Nur. Ia berharap bahwa Mama dan Papanya tidak marah besar kepadanya.

•••

"Mana suratnya?"

Baru saja Gea membuka pintu rumahnya, Mamanya itu sudah menodong Gea, ditambah dengan pelototan tajam khasnya.

"Gea kasih suratnya, tapi Mama jangan marah." Gea mulai bernegosiasi.

Mama berkacak pinggang. "Mana bisa Mama gak marah kalo nanti tau, ternyata isinya panggilan dari sekolah atas kelakuan sembrono kamu."

Gea menundukkan kepalanya. Mamanya itu pastinya sudah tahu tujuan dikasihnya surat itu, tapi wanita paruh baya itu malah mengambil kesempatan untuk memarahi Gea. Biasanya Gea akan diomeli panjang lebar sampai Papanya itu pulang kerja, dan berakhir dengan keputusan sang kepala keluarga untuk kembali memotong uang jajan Gea.

"Mana suratnya? Gak usah disembunyi-sembunyikan gitu lah, udah ketahuan juga."

Gea menghembuskan napasnya, lalu berjalan dengan gontai menuju kamarnya untuk mengambil surat yang ia simpan di dalam laci meja belajar. Setelah itu, Gea kembali menghampiri Mamanya yang menunggu di ruang tamu.

Gea menyerahkan surat itu kepada Mama, yang dengan cepat langsung dibaca isinya. Gea menelan ludah dengan susah payah saat melihat kening Mamanya yang mengerut.

Mata Mama beralih pada Gea yang masih berdiri dengan kepala tertunduk.

"Alfa kamu banyak banget, kamu kemana aja, Gea? Perasaan, setiap hari selalu berangkat?"

Gea menggaruk kepalanya, keningnya berkerut. Kenapa malah alfa yang tertulis di surat itu?

"Kok alfa, sih?" gumam Gea.

"Mama pindahin kamu ke pesantren, mau?"

Gea menggeleng cepat. "Gak mau, Ma. Maaf."

"Seminggu bolos berapa kali kamu? Jangan macem-macem ya kamu! Mama sekolahin kamu biar bener, jadi anak pintar yang bisa ngebanggain orang tua."

"Iya, Ma, maafin Gea."

Mama menghela napas. "Kamu bisa gak sih jadi anak yang nurut? Sekali-kali nyenengin Mama, gak bikin ulah terus kayak gini."

Gea memainkan jari-jemarinya. Ia tahu, dirinya salah karena telah bersikap tidak baik selama di sekolah. Kedua orang tuanya itu pasti lebih bangga pada Shaidan, daripada Gea yang selalu membuat malu orang tuanya.

"Tadi di sekolah abis berantem juga dengan temanmu?" tanya Mama setelah membaca lanjutin isi suratnya.

Bibir Gea bungkam. Gadis itu hanya menjawab dengan anggukan kepala.

"Ya Allah, punya anak gadis kenapa sukanya kelahi terus sih? Kamu mau Mama daftarin jadi petinju?"

Sekali lagi Gea hanya menggerakkan kepalanya, kali ini dengan gelengan kepala.

"Udah Mama bilang, jangan suka berantem! Kamu suka ya ngeliat Mama marah-marah gini? Apa Mama harus mati dulu biar kamu berhenti bersikap sembrono?"

Gea menegakkan kepalanya, air mata yang ditahannya kini sudah mengalir.

"Mama kenapa sih selalu bawa-bawa mati kalau marahin Gea? Se-menyusahkan itu ngurus Gea?"

Gea menyeka air matanya. "Iya tau, Gea salah. Selalu salah karena gak pernah nurut sama Mama. Maaf kalau buat Mama sama Papa susah, bahkan malu sama kelakuan Gea. Sampe-sampe gak pernah mau ke sekolah buat ngambilin raport Gea."

Mama tersentak begitu menyadari kesalahannya yang tidak pernah hadir untuk mengambil raport Gea. Selama ini, selalu Shaidan yang mengambilkannya. Jika Shaidan tidak bisa, mau tak mau Gea harus mengambilnya sendiri.

"Loh pada kenapa ini? Papa ngucap salam, kok gak ada yang jawab?"

Gea mengambil surat yang masih dipegang Mamanya itu, lalu menyerahkannya kepada Papa.

"Maaf, Gea buat kesalahan lagi. Nanti Gea bilang sama Bu Nur kalau Mama sama Papa sibuk, gak bisa dateng ke sekolah."

Gea mengusap air matanya yang kembali menetes. "Uang bulanan Gea nanti Gea balikin lagi ke Papa, besok pagi Gea transfer ke rekening Papa."

Setelah itu Gea berlari menuju kamarnya. Begitu sampai di kamarnya, ia menutup pintu kamar dengan kencang. Lalu, Gea mengubur dirinya di balik selimut tebal miliknya.

Sempat terpikirkan untuk bolos saja besok, tapi cepat-cepat Gea menepis pikiran jelek itu. Gea tersadar, dirinya banyak membuat kecewa Mama dan Papanya. Untuk saat ini, Gea akan rajin-rajin masuk sekolah. Doakan saja, semoga gak khilaf.

Ponselnya berkedip, menandakan ada pesan masuk. Dengan malas Gea mengambil ponselnya, lalu membuka pesan itu.

+62 857XXX
Lo gak apa-apa? Sorry, tadi gue keceplosan. Gue kira lo udah ngasih tau ortu lu

Gea memutar bola matanya, ia sudah tahu siapa yang mengiriminya pesan itu. Mood Gea sedang tidak bagus hari ini, jadi ia hanya membaca pesan itu tanpa berniat untuk membalasnya. Dirinya lebih memilih tidur, memulihkan moodnya yang berantakan.




_______

Helauu gaisseu!

Gimana kabarnya? Semoga baik-baik aja ya^^

Semoga suka dengan part ini. Sampai jumpa di part selanjutnya~

Bubay👋

Salam,

San❣


GEANDRA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang