19

928 48 0
                                    

ANDRA terbahak sambil membolak-balikkan sepatu berwarna maroon, milik Gea.

Awalnya Andra meminta izin untuk pergi ke toilet kepada guru yang sedang mengajar di kelasnya. Itu alibinya, tapi faktanya ia malah berjalan berlawanan arah dengan toilet.

Saat itu, niat awalnya adalah untuk merokok di taman belakang sekolah. Tapi, baru saja ia akan merogoh sakunya untuk mengambil pematik api, telinganya mendengar suara grasak-grusuk dari balik pohon besar.

Salahkan saja rasa penasaran yang melekat pada diri seorang Andra, sehingga dengan gerakan yang mengendap-endap layaknya maling jemuran emak-emak, ia berjalan ke sumber suara lalu mengintipnya dari balik pohon.

Matanya tertuju pada sepasang sepatu berwarna merah maroon yang baru saja lepas landas dari ketinggian gerbang, dahinya mengernyit. Lalu beberapa detik kemudian, bibirnya menyunggingkan senyuman jahil saat netranya menangkap sesosok perempuan yang akan menaiki pagar dengan mata tertutup.

Di dalam hatinya ia tertawa melihat kelakuan Gea. Bodoh! Mana ada orang manjat tapi matanya ketutup, mau nyungsep?

Dengan gerakkan secepat kilat bak seorang ninja, ia memungut asal sebelah sepatu milik Gea. Lalu berlari menuju kelasnya lagi, melupakan niat awalnya yang ingin merokok.

Dan setelah jauh dari kawasan taman belakang, ia tertawa kencang hingga menimbulkan suara bergema di koridor yang sepi.

Ia memerhatikan benda di tangannya dengan kekehan yang belum hilang, kepalanya mengangguk-angguk. "Oh, yang gue ambil sebelah kanan."

Kemudian ia kembali masuk ke kelasnya, dengan raut wajah yang lebih ceria dari sebelumnya.

•••

Entah sudah terhitung berapa banyak Gea mengumpat. Dengan tangan yang terlipat di dada, ia menggerutu. Tangannya tak sanggup jika terus-terusan berpose hormat.

Sesekali ia melompat kecil atau mengangkat kakinya bergantian. Diteriknya cuaca pagi ini, ia tidak pakai alas, hanya kaus kaki putih yang membungkus kaki cantiknya itu.

Dengan wajah tertekuk, bibirnya itu tak bosan mengeluarkan sumpah serapah kepada seseorang yang telah mengambil sebelah sepatunya.

"Apa ini? Sepatu ilang aja terus, mau bilang apa nanti ke nyonya besar?" gerutunya.

"Awas aja kalo sampe gue tau siapa yang betak sepatu gue. Kalo yang ngambil cewek, bakal gue botakin tuh rambutnya. Kalo yang ngambil cowok, gue tendang anu-nya sampe putus. Biar nyaho!" ujarnya dengan kaki yang menendang-nendang tiang bendera, untung tiang benderanya berdiri kokoh, coba kalo yang asal tendang langsung roboh, bisa gepeng Gea tertimpa tiang bendera.

Gea mengambil ponselnya di saku roknya, lalu melihat jam yang tertera pada layar ponsel.

"Jam 10.15, lima menit lagi nih. Aish! Kapalan kaki gue deh lama-lama berdiri gini." ia meniup poninya yang lepek akibat keringat.

Karena tidak kuat berdiri lagi, Gea memilih duduk selonjor. Tak ada guru yang mengawas ini, batinnya.

Setelah menunggu lima menit lamanya, akhirnya bel istirahat berbunyi. Membuat Gea bangkit, lalu berlari kecil menuju kantin untuk membeli segelas es jeruk yang segar disaat cuaca terik ini.

Ia duduk di salah satu kursi kosong, lalu berteriak kepada salah satu penjual untuk memesan es jeruk. Sambil menunggu, ia mengeluarkan sisir kecil yang ada di saku seragamnya. Sengaja ia membawanya, karena tadi pagi ia tak sempat menyisir.

Tak perlu cermin hanya untuk menyisir, itu terlalu ribet kalau menurut Gea. Terkadang Gea suka memutar bola mata jengah saat melihat anak-anak perempuan yang ia jumpai sedang memegang sisir di tangan kanannya dan cermin kecil di tangan kirinya atau mungkin berkaca dengan cermin yang ditaruh di atas meja dengan kotak pensil yang bertujuan untuk mengganjal cermin agar tidak jatuh. Kalau tidak ada cermin, pasti heboh, selalu bertanya kepada temannya, apakah rambutnya sudah tertata rapi atau masih berantakan layaknya nenek sihir.

Gea mengerjapkan matanya, lalu tersenyum lebar saat segelas es jeruk muncul di hadapannya. Dengan gerakkan cepat ia mengambil sedotan yang ada di dalam gelas tersebut, lalu membuangnya asal, tak memedulikan orang-orang yang bisa saja terkena lemparan sedotan miliknya.

Menurut Gea, minum langsung seruput itu lebih wenak daripada minum dengan menggunakan sedotan. Itu kelamaan kalau menurut Gea, rasa spesialnya jadi tidak dapat. Padahal entah rasa spesial seperti apa yang Gea maksud.

Baru saja Gea dapat bernapas lega, ia sudah dikejutkan dengan salah seorang makhluk astral di depannya.

"Ngapain lo kesini? Mau minta makan? Sori, gue gak ada duit." ujarnya dengan tangan yang ia ibaskan ke hadapan Andra, tanda mengusir.

Andra berdecak. "Lo kira gue pengemis?"

Gea menggedikan bahunya, lalu kembali menyeruput es jeruknya.

Mata cowok itu beralih ke bawah meja, tepatnya ke kaki Gea yang hanya terbungkus kaus kaki putih. Ia menahan tawanya.

Gea menatap sinis Andra. "Muka lo kenapa, kali? Nahan kentut?"

Andra terkekeh, lalu mengacak rambut Gea. Membuat Gea melotot.

"Eh! Ini rambut tuh baru gue sisir tau, dengan lancangnya tangan lo mendarat di rambut gue. Gue yakin, tangan lo itu bekas cebok, 'kan?"

Andra mendengus mendengar perkataan Gea yang sembarang itu. Memangnya, kapan, sih mulut Gea itu berkata manis terhadapnya?

"Mulut lo belum pernah gue cipok ya? Kalo ngomong asal bunyi aja kayak kentut."

Gea berdiri, tak menghiraukan ucapan Andra. Sebelum pergi, ia menatap Andra. "Daripada banyak bacot, mending bayarin noh minuman gue. Gue mau cabut, bye!"

Setelah itu, Gea berjalan santai keluar dari kantin. Meninggalkan Andra yang menggeleng-gelengkan kepalanya.

Ia menghela napasnya. "Kurang sabar apa lagi gue sebagai cowok? Efek terlalu cinta gini, nih."

_______

To be continued...

GEANDRA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang