Zeva duduk menghadap Bu Ratna, selaku guru BK dan Bu Aya selaku guru matematika yang melihat kejadian tadi.
"Zeva, jujur sama ibu, bagaimana kejadian sebenarnya?" tanya Bu Ratna dengan lembut.
Zeva menghembuskan napas lelah untuk yang kesekian kalinya dirinya di tanya dengan pertanyaan yang sama.
Dia membasahi bibirnya sekilas, kemudian mulai menatap Bu Aya sebentar dan beralih ke Bu Ratna,"saya sudah ceritakan semuanya bu," jawabnya.
Bu Ratna membenarkan kacamatanya sebentar tanpa mengendalikan tatapan dari dirinya,"tapi kenapa sampai Dila harus seperti itu, nak?"
"Bu, saya akan melakukan apapun sama orang yang menginjak harga diri saya. Dia hina saya bu! Hina!" tunjuknya pada diri sendiri dan tanpa sadar suaranya naik satu oktaf dalam ruangan itu, hingga membuat Bu Ratna dan Bu Aya sedikit kaget.
"Tapi yang kamu lakukan itu kekerasan Zeva! Dan kekerasan dalam bentuk apapun tidak di benarkan di lingkungan sekolah!" Bu Aya ikut terpancing emosi.
Zeva berdiri menatap Bu Aya yang berdiri di belakang kursi tempat Bu Ratna duduk itu,"kalo perlakuan saya itu termasuk kekerasan, lantas bagaimana dengan mereka yang menghina saya bu?! Apa saya harus diam aja?! Ibu gak mikirin gimana perasaan saya? Di ejek satu kelas! Di hina karena saya gagal mewakili sekolah! Apa itu bukan tindakan kekerasan? Jadi tindakan kekerasan menurut ibu cuma tentang fisik? Padahal ibu gak lihat semuanya dari awal!" balasnya.
"SUDAH! STOP!" teriak Bu Ratna sambil menggeprak meja.
"Zeva, duduk!" suruh beliau.
Masih dengan emosi, Zeva menghempaskan tubuhnya pada kursi kembali. Sedangkan Bu Aya memalingkan tatapannya kearah lain.
"Sekarang kamu boleh keluar, nanti pulang sekolah temui ibu kembali. Karena ibu mau kasih surat panggilan untuk kedua orang tua kamu," putus Bu Ratna.
Zeva yang mendengar itu pun sontak meremas kuat ujung roknya,"bu, saya gak salah. Kenapa harus panggil orang tua saya segala?" tanyanya.
"Ibu percaya sama kamu Zeva. Tapi, ibu harus ketemu sama orang tua kamu besok dan ibu juga akan melakukan hal yang sama pada Dila nanti setelah dia sadar," jelas bu Ratna.
Tidak ada alasan lagi untuk ia membantah perintah Bu Ratna. Percuma saja, toh ia tetap tidak bisa membela dirinya saat ini. Lalu Zeva hanya bisa mengangguk patuh,"baik bu," ujarnya dan segera bangkit, kemudian pergi dari ruangan itu.
Saat menuruni anak tangga, dirinya tersentak kaget saat sebuah tangan menariknya, kemudian membawa dirinya ke ruangan ekskul skeatboard sekolah. Zeva tidak bisa berbicara apapun selain mengikuti belakang Rafa.
"Rafa, lo ngapain bawa gue kesini?" tanya Zeva setelah keduanya masuk ke dalam ruangan itu dan melihat Rafa yang mengunci pintu dari dalam.
Rafa menolehkan pandangannya kearah Zeva, kemudian memegang tangan gadis itu. Ia bisa merasakan keringat dingin pada tangan Zeva serta bergetar. Lelaki itu menggenggam kuat tangan Zeva sambil berucap,"tenangin diri lo, semua tau kalo kejadian tadi bukan salah lo," ujarnya.
Zeva menatap tangannya yang di genggam erat Rafa, kemudian sesak memenuhi rongga dadanya. Ia menggigit bibir bawahnya kuat agar isakannya tidak terdengar.
"Nangis Zev kalo lo gak kuat, semakin lo tahan semakin lo gak bisa ngendaliin diri lo sendiri," mendengar perkataan Rafa, Zeva berusaha menatap iris mata Rafa kemudian tersenyum dengan genangan air mata yang ia tahan agar tidak tumpah. Zeva menghempaskan tangannya agar terlepas dari tangan Rafa dan menghirup oksigen sebanyak mungkin,"gue gak ngerti maksud lo Raf," ujarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GERIMIS [SELESAI]
Teen FictionStory 2 . "Katanya, harus terluka dulu biar nanti bisa merasakan bahagia. Lantas, luka sedalam apa yang harus manusia dapatkan, karena aku menginginkan hidup bahagia lebih lama dari hidup dalam luka itu sendiri." (Gerimis, 07 September-2021) Notes :...