Fahri sudah pergi beberapa menit yang lalu setelah mendapatkan telefon dari seseorang. Sebenarnya Fahri tidak ingin meninggalkan Zeva tapi ia percaya jika Azka bisa menjaga gadis itu.
Azka selesai mengobati luka-luka di tangan Zeva. Lelaki itu menutup kotak P3K dan meletakkan diatas nakas. Menghela napas pelan, ia memegang jari jemari gadis itu. Tatapannya terluka melihat Zeva seperti ini.
Sementara Zeva enggan untuk menatap lelaki itu meskipun cuma sedetik. Air matanya sudah mengering, hatinya sakit, jiwanya terganggu, dan mentalnya rusak.
Permainan semesta kepada dirinya sudah benar-benar keterlaluan. Gadis itu menatap kosong keluar jendela. Rasanya seperti berada di sebuah ruangan gelap minimal penerangan. Tenggorokannya seperti tercekik setelah mengetahui semua yang terjadi.
"Maaf, aku gak ada di saat kamu lagi butuh aku," ujar Azka pelan.
"Gue mau istrahat sekarang, mending lo pulang aja." Kemudian Zeva menarik tangannya yang di genggam Azka.
Deg.
Azka merasakan jantungnya berdetak tidak biasa, ia menelan salivanya susah payah, kakinya melemas. "Lo-gue?" batin lelaki itu.
Dan semakin di buat gugup oleh tatapan Zeva yang memandangnya seperti orang asing, "gue bilang pergi! Lo budeg? Hah?!" Zeva menaikkan intonasi suaranya.
"Kita udah putus. Jadi, sekarang gue minta lo pergi dari sini! Pergi dari hidup gue Azka!! Gue benci sama lo!" jerit Zeva sambil memukul dada bidang Azka dengan seluruh tenaganya.
Azka merasakan separuh nyawanya hilang, ia segera membawa Zeva ke dalam pelukannya, membuat Zeva tidak lagi bisa memberikan pukulan.
"Aku-gak-mau-putus!" tegas Azka semakin erat memeluk Zeva.
"Gak akan ada kata putus sampai kapan pun. Aku gak mau ninggalin kamu dan kamu gak bisa ninggalin aku saat ini, nanti, dan sampai kapanpun."
Zeva terkekeh pedih dengan tiba-tiba air matanya yang menggenang di pelupuk. Dia kemudian mendorong dada Azka kemudian menatap lelaki itu dengan sangat dingin.
"Aku gak mau putus," ulang Azka dengan tatapan teduhnya.
Zeva merasakan degup jantungnya yang tak biasa, kali ini dia melihat tatapan itu lagi. Tatapan yang membuat dia merasa sangat di cintai kalau itu oleh seorang Azka.
"Jangan panggil lo-gue. Aku mau, aku-kamu seperti biasanya."
Zeva berdecih, "selama ini yang manggil lo-gue cuman lo, Azka!" tunjuk Zeva ke dada Azka.
"Maaf."
"Gue tetap mau putus."
Azka menggeleng lemah tanpa sadar matanya memerah, ia menangis di depan Zeva membuat Zeva terkejut tetapi berusaha menetralisir ekspresi keterkejutannya.
"Hukum aku, diemin aku juga gak apa-apa. Tapi, jangan pernah bilang putus, aku mohon Zeva," lirih Azka.
"Ka," panggil Zeva pelan karena tak tega.
"Aku gak mau kita putus," ujar Azka tanpa berani menatap mata Zeva. Mata yang selalu berhasil membuat dirinya bahagia sekaligus terluka.
Kemana Azka yang kasar? Kemana Azka yang selalu bilang lo-gue? terlalu banyak pertanyaan di benak Zeva sehingga dia merasa sangat bersalah. Bukankah dengan kehadiran Azka disini karena peduli kepada dirinya? Atau apa memang dirinya sudah egois tentang hubungan mereka? Jika boleh jujur, Zeva masih sangat menyukai lelaki itu. Azka terlalu banyak menorehkan bahagia untuknya. Dan, satu pertanyaan di benak Zeva, "apa dia sanggup jika nanti melihat Azka bersama gadis lain? Apa dia sanggup jika Azka sudah benar-benar tidak menghubunginya lagi? Apa dia sanggup kehilangan lelaki di depannya ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
GERIMIS [SELESAI]
Teen FictionStory 2 . "Katanya, harus terluka dulu biar nanti bisa merasakan bahagia. Lantas, luka sedalam apa yang harus manusia dapatkan, karena aku menginginkan hidup bahagia lebih lama dari hidup dalam luka itu sendiri." (Gerimis, 07 September-2021) Notes :...