Kertas-kertas yang berasal dari dalam map terlempar ke muka Dila yang menundukkan kepalanya takut. Para asisten rumah tangannya bersembunyi di balik tembok untuk mengintip kejadian di ruang tamu itu, serta ada beberapa asisten yang sibuk membersihkan area meja makan pun ikut mencuri-curi pandang.
Baru saja ayahnya tau jika Dila gagal di olimpiade itu. Tatapan yang di layangkan ayah serta ibunya membuat Dila menahan air matanya untuk keluar.
"Gagal lagi! Gagal lagi!" seru ayahnya membuat Dila beringsut takut.
"Kamu tidak pelajarin semua ini?!" tanya ayahnya mengambil selembar kertas dan menunjuk kearahnya lalu melempar asal kertas itu kembali.
"Mau kamu apa sih?! Tidak pernah bisa ayah banggakan sama sekali!"
"Jawab ayah!" gertak pria paruh baya itu lagi membuat Dila mengangkat pandangannya dengan bibir bergetar dan mata memerah dia memaksa mulutnya mengeluarkan suara.
"Aku cuma mau bersaing secara sehat, Yah. Semua yang ayah lakuin seolah-olah aku gak bisa mengandalkan diri aku sendiri."
Plak!
Sebuah tamparan keras mengenai wajahnya.
"Bersaing secara sehat?" Ayahnya tertawa sumbang.
"Gak ada yang bisa kamu lakukan tanpa bantuan dari Ayah. Hei, liat, kamu gagal lagi, Dila!" seru ayahnya mencengkram dagu gadis itu dan menekankan kalimat terakhirnya, lalu melepaskan tangannya kembali.
"Kapan ayah bisa liat usaha aku?! Aku juga butuh apresiasi dari kalian!" serunya dan beralih menatap Ibunya yang berdiri tepat di samping ayahnya itu, "Aku capek, ibu sama ayah gak pernah bisa ngertiin aku. Kenapa sih, apa-apa harus jadi nomor satu?"
"Dila!" geram ibunya kesal.
Dila sudah tidak bisa menahan lagi, dia segera keluar dari rumah dengan amarah yang memuncak.
"Mau kemana kamu?!"
"Dila!"
G E R I M I S
Dila berjalan menelusuri jalan tanpa peduli dengan orang-orang yang menatapnya. Gadis itu menangis mengeluarkan sesaknya. Memakai dress abu-abu selutut dan hanya membawa handphone membuat kulitnya merasakan dingin angin malam.
Dia tidak tau ingin kemana sekarang. Tidak fokus berjalan, sebuah motor dari arah belakangnya membuat dia terserempet dan tersungkur ke samping jalan.
Pengendara yang menabraknya tadi memberhentikan motornya, melepaskan helm full facenya lalu menoleh ke belakang dan segera menghampiri Dila di sana.
"Lo gak kenapa-kenapa?" panik pemuda itu.
"Loh, Dila?" Dila mendongak menatap Rafa yang ternyata menabraknya tadi. Bukannya menjawab perkataan Rafa, gadis itu malah semakin menangis.
"Sorry, tadi gue buru-buru banget. Lo ada yang sakit?" Rafa memeriksa gadis itu dan melihat pergelangan kaki kanan Dila yang sedikit membiru.
Rafa memegang kaki Dila pelan-pelan dan merasa sangat bersalah kali ini, terlebih gadis itu menangis.
Dila meringis merasakan sakit di kakinya, "awww, sakit," lirihnya.
Rafa menatap khawatir gadis itu, "ayo ke rumah sakit sekarang," ujar Rafa dan memberhentikan taxi yang lewat lalu membopong Dila untuk masuk dalam taxi dan dia juga ikut masuk kesana.
KAMU SEDANG MEMBACA
GERIMIS [SELESAI]
Teen FictionStory 2 . "Katanya, harus terluka dulu biar nanti bisa merasakan bahagia. Lantas, luka sedalam apa yang harus manusia dapatkan, karena aku menginginkan hidup bahagia lebih lama dari hidup dalam luka itu sendiri." (Gerimis, 07 September-2021) Notes :...