Zeva termenung di meja belajarnya sambil bertopang dagu. Hanya lampu belajar yang menjadi cahaya dalam kamarnya itu. Setetes air matanya mulai turun membasahi buku paket akuntansinya. Zeva menangis sesegukan. Sepi. Hatinya mendadak sakit dan ingin menangis.
Zeva tidak bisa berbohong bahwa dia memang gadis yang sangat rapuh, pahitnya setiap kejadian yang dialami membuat pikiran untuk mengakhiri hidup sering menghampirinya dan berhasil membuat dia melukai diri sendiri.
Semua orang pergi meninggalkan dirinya. Zeva rindu seorang ibu yang selalu memarahinya, Zeva rindu sosok ayahnya yang keras, Zeva rindu kehadiran Bi Ana yang selalu menjadi malaikat pelindungnya, penguatnya di kala dia mendapatkan kekerasan dari Hardi dan Asra. Zeva rindu semuanya.
Rindu pedih sekaligus menyakitkan. Seharusnya, Zeva sekarang bahagia kan? Sudah beberapa hari ini dia tidak bertemu dengan Hardi dan Asra. Zeva meringkuk di atas kursi yang dia duduki, menangis sendiri sejadi-jadinya.
Setelah merasa sedikit lega, Zeva berjalan keluar kamar. Kakinya melangkah menuju ruang kerja Hardi, tapi dia berhenti dan melirik pintu di sampingnya yang tidak Hardi izinkan untuk Zeva masuki.
Dengan banyak pertimbangan, Zeva meneguk salivanya susah payah dan mengurungkan niat untuk memasuki ruang kerja Hardi, melainkan berjalan kearah pintu ruangan di sampingnya dan masuk ke dalam.
Zeva terkejut melihat isi ruangan itu, ruangan bernuansa klasik itu dengan satu piano berada di sana.
Zeva menarik kursi dan mendudukkan dirinya di sana. Kemudian tangannya perlahan menari di atas tuts piano dengan memejamkan matanya menikmati nada yang ia tekan. Rivers flows in you salah satu musik favorite Zeva.
Suasana hatinya membaik saat tangannya menekan tiap tuts itu, sampai-sampai dia tidak sadar jika Hardi datang dan pintu ruangan itu terbuka dengan kasar membuat Zeva membuka matanya dan tersentak kaget.
Zeva berbalik dan segera berdiri karena takut, Zeva meremas ujung bajunya saat melihat kilatan amarah di mata Hardi. Ia menelan salivanya susah payah, "a-ayah," lirih Zeva ketakutan.
Plak!
Satu tamparan pada pipinya membuat Zeva memegangi pipinya yang terasa kebas dengan tangan bergetar. Kepalanya tertoleh ke samping akibat kerasnya tamparan yang Hardi berikan.
"Siapa yang suruh kamu masuk dalam ruangan ini?! Hah?!" Zeva memundurkan langkahnya karena takut.
"Jawab ayah!"
"Ak-aku..."
"Sini kamu!"
"Awwww, sas-sakit. Rambut Zeva jangan di tarik, Yah," Hardi tidak mempedulikan rintihan Zeva, lelaki itu sudah kepalan emosi, dia membawa Zeva ke dalam kamar mandi dan mencelupkan kepala Zeva membuat gadis itu memberontak dengan memegang tangan Hardi, napasnya tersenggal.
KAMU SEDANG MEMBACA
GERIMIS [SELESAI]
Teen FictionStory 2 . "Katanya, harus terluka dulu biar nanti bisa merasakan bahagia. Lantas, luka sedalam apa yang harus manusia dapatkan, karena aku menginginkan hidup bahagia lebih lama dari hidup dalam luka itu sendiri." (Gerimis, 07 September-2021) Notes :...