"Tadi pagi Ayah di informasikan oleh pihak sekolah kalau kamu jadi perwakilan sekolah untuk olimpiade. Ayah pikir, pihak sekolah akan memilih siswa lain untuk mewakili ajang itu."
Zeva menghentikan aktivitasnya yang sedang makan setelah mendengar perkataan Hardi. Genggamannya pada sendok dan garpu menguat dengan menatap makanan di piringnya tanpa selera.
"Serius Mas?" tanya Azizah antusias.
"Selamat sayang. Ibu ikutan bangga sama kamu," ujar Azizah dengan senyuman sumringah di seberang meja dengan Hardi itu.
"Kapan lombanya, sayang?"
"Besok," balas Zeva cepat dengan nada tidak bersahabat.
"Ya ampun, kok ibu gak di kasih tau sih."
"Kamu juga Mas!"
Hardi menaikan sebelah alisnya menatap Azizah yang sedang merajuk itu lalu dia terkekeh pelan. "Mas gak salah pilih. Kamu perduli banget sama Zeva."
"Iyalah Mas, Zeva kan anakku juga."
Zeva mendengus mendengarkan penuturan Azizah.
"Kali ini jangan sampai gagal lagi. Kamu bisa kan?" Zeva membenci dengan perkataan itu lagi dan lagi. Zeva hanya bisa mengangguk samar dan semakin menunduk memakan makanannya dengan sangat cepat. Dia memaksakan dirinya sendiri agar bisa cepat bebas satu ruangan dengan Azizah dan Hardi.
Zeva meminum sampai habis airnya. "Aku keatas, mau belajar." tutur Zeva setelah bangkit dan berjalan meninggalkan tempat makan.
Zeva segera menutup pintu kamarnya dan berlari masuk ke toilet. Gadis itu memuntahkan semua makanan yang dia makan tadi dengan satu tangan berpengangan pada keran. Zeva membersihkan mulutnya dan menatap pantulan diri di cermin dengan napas terengah-engah.
Wajahnya tiba-tiba berubah pucat dan keringat sedikit membasahi wajahnya. Zeva menunduk, memejamkan matanya sebentar guna mengendalikan emosionalnya. Lagian, anak mana yang suka mendengar perkataan seperti tadi? Di paksa untuk menjadi yang terdepan, perkataan dari orang tua yang seharusnya bisa menenangkan malah berbanding terbalik dengan Zeva. Perkataan Hardi selalu mampu membuat dirinya tertekan.
Zeva keluar dari kamar mandi dan berjalan kearah meja belajarnya. Seperti perkataan dia tadi, gadis itu akan benar-benar belajar demi bisa menang olimpiade. Jam menunjukkan pukul delapan malam, artinya dia masih punya waktu satu jam untuk belajar sendiri sebelum nanti melanjutkan belajar dengan Fahri.
Gadis itu membuka buku akuntansi miliknya dan mulai mengerjakan soal per soal. Zeva meringis merasakan nyeri di kepalanya tetapi dia tetap tidak berhenti mengerjakan soal itu, matanya membelalak tatkala cairan kental berwarna merah menetes di buku paketnya. Dengan cepat Zeva mengambil tisu dan membersihkan hidung serta buku paketnya.
G E R I M I S
Di tempat lain tepatnya di bukit, Fahri berdiri dengan kedua tangan berada di saku celananya. Wajah lelaki itu tidak seperti biasanya. Terdapat luka di sudut mulut kanan, pelipis, serta beberapa lebam di bagian wajahnya. Entahlah Fahri tidak tau ingin meluapkan amarahnya seperti apa, akhirnya tadi lelaki itu pergi ke tempat tinju bebas dan dengan emosi yang bergejolak dia melakukan hal itu.
Fahri tertawa keras dengan napas menggebu. Angin malam yang cukup dingin di atas bukit itu tidak membuat ia pergi dari sana. Melirik arlojinya sekilas, dia jadi teringat bahwa malam ini dirinya harus pergi ke rumah Zeva, mengajarkan gadis itu.
Perjuangannya sia-sia. Seperti katanya beberapa waktu lalu kepada Azka, Bani, Putra, dan Rafa bahwa Hardi bukan orang biasa yang bisa dengan mudah mereka lawan. Fahri tau jika pria paruh baya itu penuh dengan ambisi dan keserakahan di dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GERIMIS [SELESAI]
Teen FictionStory 2 . "Katanya, harus terluka dulu biar nanti bisa merasakan bahagia. Lantas, luka sedalam apa yang harus manusia dapatkan, karena aku menginginkan hidup bahagia lebih lama dari hidup dalam luka itu sendiri." (Gerimis, 07 September-2021) Notes :...