Apa sebenarnya lakon yang tengah dimainkan oleh Crystal. Terasa berat namun nekat. Seperti segala hal mengenai lelaki itu tidak dapat ia hindari. Crystal merasa seperi tidak memiliki kuasa akan dirinya, keputusannya. Hanya karena sikap dan tatap yang terpahat.
Sudah entah berapa kali Crystal menghela nafas saat ini. Mengingat kejadian tadi sore, ia bingung. Mengapa Rafanza begitu membingungkan sekarang.
Crystal terus mengobservasi apa sebenarnya yaang ia lakukan, dan satu jawaban ia temui. Menjadi pacar pura-pura Rafanza didepan Sheila, hanya itu. Namun mengapa si perangai buruk malah memperkeruh air yang memang telah keruh. Dapat dilihat dari tatapan si perangai buruk yang serius juga tatapan bingung dengan salah satu alis terangkat milik Rai.
Dan diakhiri dengan senyum Rai lalu berlalu pergi.
Konsentrasi Crystal pecah sekarang, sampai ada sebuah tangan yang menjitak kepalanya. Kaget, tentu saja. Dilihatnya siapa pelaku yang melakukan hal itu dan didapati Abraham disana.
"Nih belanjaan gue, lo kenapa dah. Dari tadi gue disini ya lo bengong kek orang tolol." Dumel Abraham yang hanya didiamkan oleh Crystal.
"Ck, gue lupa lo sama kaya Rafanza, gak mau bawa orang susah. Padahal disekitar lo ada yang selalu ada, cocok dah."
Crystal mencerna satu persatu kata yang dilontarkan oleh Abraham, kenapa setiap Abraham datang malah menambah satu benang tak berujung lainnya.
"120.000, semuanya, cash atau card?" Tanya Crystal tanpa beralih dari layar monitor dihadapannya.
Abraham menyerahkan Card lalu berdiri menunguu dengan jari yang mengetuk meja kasir. Hening, ternyata perempuan itu masih berpikir dalam kepalanya.
"Baik terimakasih, selamat berbelanja kembali."
Abraham tidak mengerti, mengapa dua orang dingin itu malah disatukan dengan satu takdir. Bahkan yang dapat Abraham lihat hanya mereka yang ingin terlihat kuat dengan segala masalah tanpa penyelesaian. Ingin selesaikan sendiri mungkin, tapi mereka lupa ada orang yang menunggu mereka dibelakang. Menunggu agar ditoleh lalu bersama bejalan dengan satu padu.
"Soal Sheila, mending lo ikutin game Rafa. Jangan banyak tanya, dia gak bakal suka." Setelah kalimat itu rampung Abraham pergi meninggalkan Crystal yang semakin gila sendiri.
*****
Suara klakson mengejutkan Crystal yang tengah menyatukan tali sepatu miliknya, mengangkat kepala mendapati mobil Rafanza ada disana. Ah, ia lupa ini termasuk sandiwara yang harus ia kuasai dan juga biasakan diri walau ujungnya jatuh pada jurang sakit hati. Mungkin.
Saat melihat kaca mobil yang mulai turun, dapat Crystal lihat ada satu kepala lainnya. Sulit sudah paginya kali ini. Sheila ada disana duduk pada kursi belakang mobil dengan senyum cerah bagai tidak ada lelah.
"Pagi Crystal," sapa Sheila dengan sangat ceria.
Crystal ragu, untuk menyentuh pintu mobil Rafanza. Apa ia harus duduk disamping sang pemilik kendaraan?
"Ayo masuk Al, ntar kita telat." Intruspi Rafanza yang membuyarkan segala pemikiran Crystal. Dan dengan segala keyakinan pada diri Crystal membuka pintu lalu dan duduk tepat disebelah Rafanza.
Bodohnya, saat Crystal menoleh pada Rafanza, lelaki itu tersenyum lalu mengacak Rambutnya gemas. Menjafikan hal itu sebagai tindakan favoritnya, Rafanza tidak bisa menahan diri kala melihat wajah bingung Crystal. "Kamu tuh ya, lupa terus pake seatbelt." Mata Crystal membulat kala Rafanza memajukan diri dan memasangkan sabuk pengaman.
Rafanza mencubit hidung Crystal lalu tertawa kecil, "Lucu banget kalo lagi blushing gini." Ujarnya.
Crystal semakin membeku ditempatnya bingung harus bertindak bagaimana. Pikirannya buntu jantungnya bertalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIDDEN SIDE
Teen Fiction"Mata Lo! Gue benci mata Lo!" Pertemuan yang diawali dengan saling adu mata merebah ruah menjadi lantunan cerita paling tidak dapat ditebak. Apa benar takdir selalu punya caranya tersendiri untuk merubah karakter seseorang dengan kedatangan manusia...