Betapa terkejutnya Crystal kala mendapati ada keberadaan Sheila didalam mobil milik Rafanza pagi ini. Ah, sudah sangat lama tidak mendapati gadis itu berada disana. Tapi kali ini, Crystal merasa ada yang aneh dengan suasana yang tercipta.
"Rafa.. nanti sehabis pulang sekolah anter aku ke toko buku ya." Pinta Sheila yang terdengar ringan, Crystal perhatikan ekspresi yang ada pada wajah si prangai buruk.
Ada satu hela nafas yang dibuang, "Hm.." hanya itu namun sanggup buat senyum yang amat sangat manis pada wajah Sheila.
Crystal terdiam, coba hentikan hiruk pikuk pegumulan dalam pikirannya. Ia coba untuk tenangkan, karena masih tidak ada suara yang diberikan sebagai sapaan atau suatu perbincangan. Rafanza bungkam.
Rafanza coba katakan sesuatu, bunyi salah satu suara dalam pikiran Crystal.
Seberapa lama Crystal menunggu tidak ada kata yang diberikan. Dan semakin banyak pikiran tidak mengenakan didalam kepalanya. Apa yang ada dipikiran kamu Rafanza, kenapa hanya diam.
Tanpa disangka satu elusan pada puncak kepala Crystal dapatkan hingga buyar sudah segala pikiran yang buat gadis itu terbawa dalam lamunan. Ada satu senyum yang digambarkan, tapi rasanya sangat mengganjal dalam diri Crystal.
"Kamu engga kenapa-napa kan?" Satu tanya Crystal, gadis itu harap untuk dapat jawaban yang memang di inginkan. Hanya gelengan yang didapatkan dengan senyum yang masih ada.
"Aku gak papa.." kata itu menggantung dan Crystal tahu pasti ada sesuatu. Lelaki berprangai buruk disampingnya tengah coba sembunyikan hal-hal yang mungkin memang sulit dijelaskan. Crystal coba mengerti, mengangguk tanda agar konversasi hanya dapat sampai disana.
Ada Crystal yang tatap Rafanza. Lelaki dengan tatapan kosong juga bimbang disatu waktu.
"Nanti aku anter ke Cafe ya.." dengan tatap yang kontan dihadapkan pada Crystal kala lampu menandakan warna merah dan ada tatap yang saling temu. Crystal coba cari, namun tidak dapat ditemukan sebanyak apapun ia menenggelamkan diri. Jawabannya nihil.
Maka Crystal hanya dapat mengangguk, "Nanti jangan lupa kabarin aku ya kalo udah sampe rumah, semalem kamu lupa."
Ada rasa menggejolak dalam diri Rafanza, ia sungguh ingin dekap Crystal sekarang namun ada dinding tinggi yang batasi. Dinding yang dalam semalam terbangun dan batasi segala hal mengenai rasa juga asa yang bahkan baru dimulai. Dan disebarang ada Crystal yang coba ulur tangan, namun Rafanza tidak bisa gapai.
"Maaf ya udah buat kamu khawatir semaleman." Ada satu gas yang dilajukan, melanjutkan perjalan menuju tempat tatap wajah dalam menimba ilmu.
"Lain kali jangan lupa.." ada senyum diakhir kata yang akhirnya buat Rafanza lega. Hanya dengan lihat senyum itu dunianya bagai kembali lada tempatnya semula. Persetan dengan apapun itu, Crystal tetap jadi rumahnya.
Ada mereka yang tengah lakukan cakap-cakap kecil. Ada satu hati yang mencelos akibat diabaikan.
*****
Rafanza yang tatap papan tulis berisikan tulisan dari sekertaris kelas yang memenuhi papan putih itu dengan tulisan rapi. Terbaca dan seharusnya lelaki itu bubuhkan kembali tulisan yang ia baca pada papan tulis pada buku miliknya. Pikirannya sungguh tidak dapat diajak kompromi ternyata, masih dengan satu cakap yang melayang-layang.
"Kamu cuma bisa ambil opsi ini."
Rafanza tidak dapat mengelak, lucunya. Sampai tawa mengejek juga muncul pada hatinya. Dan ia hanya dapat menerima sekarang?
Ada satu orang yang tengah ia jaga agar tidak lagi ada luka tapi ternyata ada hal lain yang akan jadi opsi-opsi lainnya untuk dilakukan. Seharusnya ada, tapi pikiran Rafanza buntu. Dan ia tidak berdaya akan satu fakta.
"Raf.. Raf.." ada bisik-bisik yang sebutkan namanya tapi Rafanza sama sekali tidak mendengar bagai segala indranya tengah malfungsi.
"Elah.. edan nih anak. Woi.." ada suara yang lagi-lagi diabaikan. Pada akhirnya Cakra menggebrak meja Rafanza hingga bukan hanya Rafanza yang terkejut melainkan seluruh indra pendengar pengisi kelas.
Hingga setiap pasang mata kontan tatap pada meja ujung paling belakang. Ada satu cengir yang Cakra beri dengan jari yang telah berbentu huruf alfabet V. Maka guru yang tengah duduk tenang pun menggeleng.
"Cakra coba saya tanya.." ujar Guru yang ada disana.
Maka ada teguk liur yang dihasilkan Cakra dengan tatap bergetar gugup, "Dari semua yang ada di papan tulis, sekarang kamu gantikan Cindy untuk tulis."
Bola mata Cakra membulat bagai akan keluar dan kekeh kecil dari Abraham juga tatapan geli daru Rafanza.
"Yah.. Bu... kok jadi saya sih Bu." Ujar Cakra mengeluh.
"Sekarang atau saya suruh kamu lari lapangan?" Maka ada langkah gontai disertai malas yang usung badan kedepan. Gantikan sang Sekertaris kelas untuk tulis dipapan tulis.
"Jangan ngeluh kalo tulisan gue jelek." Ujar Cakra yang akhirnya tulis kata demi kata. Tidak buruk, tulisan milik Cakra memang tidak terlalu bagus namun tetap dapat terbaca.
"Gilaaa... pegel tangan gue anjing!" Keluh Cakra saat Guru telah keluar kelas dan akhirnya ia berhenti dari tulis menulis.
"Makanya lo juga apaan gebrak meja Rafa, gak jelas." Di iringi tawa kecil Abraham berujar, dengusan keluar dari mulut Cakra. Tatap lelaki itu sudah sepenuhnya beralih pada Rafanza yang hanya tersenyum kecil.
"Lo gue panggilin dari tadi, bengong ajaa. Masalah lo berat banget kayanya." Niat hati hanya berupa canda namun mimik wajah Rafanza menjelaskan bahwa itu benar dan serius.
"Lo kenapa dah?" Tanya Cakra, Abraham hanya diam, menunggu kata yang akan diucapkan sang sahabat.
Baru saja akan berujar ada satu suara yang isi kelas, "Rafa..!" Suara nyaring itu terdengar begitu ceria dengan senyum yang sama bahagianya.
Disana pula ada Rafanza yang kembali hela nafas. Dan dapati atensi kedua sahabatnya. Tanpa diberitahu pun Cakra juga Abraham mengerti ada sesuatu yang bernamakan bisnis keluarga tengah jerat Rafanza ternyata.
Langkah ringan itu dirangkai ddngan senyum yang tak kunjung henti hiasi wajah, ada satu kekhawatiran yang tersemat dalam hati Abraham juga Cakra. Mereka tidak yakin apa nantinya ini berdampak kembali pada prangai Rafanza tapi jika iya maka hanya Crystal lah yang dapat buat sadar akan realita. Semoga.
"Kita ke kantin bareng yah." Ujar Sheila masih dengan mood baik dan berbanding terbalik dengan Rafanza yang seperti tidak ada semangat, hanya hela-hela nafas yang jadi pelampiasan.
Anggukan kecil Rafanza membawa satu tangan Sheila untuk raih lengan lelaki itu, dirangkul. Dan tidak ada perlawanan. Apa lagi bentakan yang seharusnya diberikan, hanya ada Rafanza dengan segala keterdiaman.
Telusuri lorong memang akan melewati kelas milik sang kasih dan Rafanza toleh sedikit kepala. Pandangan mereka bertemu dan Rafanza torehkan senyum dengan lambai.
Dampaknya, Crystal malah takut. Senyum dan lambai. Jangan, jangan sampai.
Sesak kembali hadir, saat melihat Rafanza yang jalan dengan Sheila. Tidak ada cakap untuk selesaikan runyamnya pikiran Crystal. Hingga ia tenggelam dan dapatkan satu tepukan pada bahu.
Zanna mengarahkan dagu, ada dua orang lelaki lain disana. Abraham juga Cakra yang menatap Crystal dengan tatap penuh introgasi.
Aku tahu apa Rafa, kamu saja belum cerita apa-apa.
"Lo gak mau susulin Rafa apa Crystal?" Dan satu gelengan lagi yang dapat Crystal bagi hari ini. Cakra mendengus lalu mendudukan diri pada meja.
"Seharusnya lo tanya dong Crystal kenapa dia gak seberdaya itu sama Sheila." Ujar Cakra lagi dan sedikut diberi kode oleh Nadira untuk jangan bicara lagi.
Senyum getir dan hanya dapat Crystal rasakan, ada hak apa dirinya untuk tahu masalah Rafanza.
"Nanti gue tanya kalo kondisi udah memungkinkan, sekarang gue gak bisa apa-apa." Kata itu usai dengab kepala merunduk dan Crystal lampiaskan pada kepalan tangan.
21.27, 09 Januari 2022
Seee youuuu
KAMU SEDANG MEMBACA
HIDDEN SIDE
Teen Fiction"Mata Lo! Gue benci mata Lo!" Pertemuan yang diawali dengan saling adu mata merebah ruah menjadi lantunan cerita paling tidak dapat ditebak. Apa benar takdir selalu punya caranya tersendiri untuk merubah karakter seseorang dengan kedatangan manusia...